25. Pretending Is Not As Easy As You Think

1K 141 25
                                    

Aku masih bertanya-tanya,

mengapa cinta harus selalu membawa lara untuk berjalan bersama?

"BIBI sudah membuat banyak sekali masakan setelah tahu kau akan datang. Sayang sekali Wonwoo memberitahu soal kedatanganmu sedikit terlambat, jadi Bibi tidak sempat membeli bahan untuk membuat kue jahe sebagai hidangan penutup. Tetapi tenang saja, sudah ada makanan lain yang lebih lezat, jadi jangan sungkan-sungkan. Makanlah yang banyak."

Antusias, senyuman, semangat, dan tawa. Semua melebur di udara bercampur dengan aroma masakan lezat yang tersaji di atas meja dengan begitu indah. Nampak menggiurkan, membangkitkan selera makan kalau saja pikirannya tidak kalut dan buntu pada satu titik hingga menyumbat titik yang lain. Kepalanya bahkan terasa nyaris pecah, gumpalan-gumpalan itu menyatu dan terus membesar bak busa yang melekat dan susah hilang. Napasnya jadi terhambat. Dadanya sesak, hatinya perih luar biasa.

Tetapi yang terpampang di depan matanya sekarang malahan sebuah kebahagiaan yang mesra. Indah dan hangat. Permulaan musim panas yang sangat tepat. Sayang sekali, semua hal yang harusnya dapat menyebar kenyamanan bagi siapa saja sekarang tidak mempan masuk dalam tubuhnya sebab ia sendiri sudah mati rasa.

Semua jadi hambar.

Pemuda itu menarik napas dalam-dalam.

"Ah, apa ini tidak merepotkan? Bibi masak banyak sekali hari ini."

Ibu Wonwoo tersenyum. Rambutnya yang tergerai dan dicatok bergelombang di bagian bawah itu bergerak-gerak saat ia menggeleng pelan. "Tentu tidak, Sayang. Sama sekali tidak merepotkan." Wanita itu menatap lawan bicara dengan binar mata yang indah, memperbaiki posisi duduk agar terasa lebih nyaman dengan tubuh yang condong ke depan sementara kedua tangan dikaitkan di atas meja. "Sebenarnya bibi sudah menunggu-nunggu acara makan malam seperti ini semenjak bibi keluar dari penjara. Ada Wonwoo, putra semata wayang bibi yang terkasih." Ibunya melirik ke arah putranya sebentar, "dan kau, gadis cantik baik hati yang menjadi pilihan Wonwoo."

Gadis itu tersipu, tertawa malu-malu. "Bibi bisa saja."

Jeon Wonwoo sudah sering sekali mendengar banyak ungkapan manis dan pujian yang keluar dari mulut ibunya akhir-akhir ini, disisipi dalam telinga layaknya radio rusak yang entah mengapa membawa kebahagiaan bagi orang yang mendengar. Kecuali dirinya, tentu saja. Bahkan saat barusan satu pujian manis diucapkan, saat senyum diumbar lebar penuh kebebasan, pemuda itu hanya mampu melirik sebentar sebelum kemudian ikut tersenyum meski terlalu kaku. Tidak tipis, namun terkesan sangat dipaksakan dan ia harap ibunya tidak dapat mendeteksi kepura-puraan tertera pada wajahnya.

Pemuda itu menautkan jemarinya di atas paha, menarik ujung sweater pada pergelangan tangan sebelum meremasnya pelan. Tidak dingin, memang. Ini sudah memasuki awal bulan Juni, permulaan musim panas yang seharusnya membawa kehangatan. Ruangan makan dalam rumahnya juga tidak dilengkapi pendingin ruangan seperti yang dipasang pada ruang makan dalam rumah Soo Ri. Namun tak selalu memerlukan pendingin ruangan atau angin malam untuk membuatmu merasa kedinginan. Hati yang beku, itu sudah cukup. Tatapannya kini terpaku pada meja kaca di depan mata yang penuh oleh variasi makanan. Warnanya macam-macam, harumnya menusuk indra perciuman dan membangkitkan air liur untuk merembes keluar.

Seandainya saja, makan malam ini tidak harus dinikmati bertiga dengan kepura-puraan menguar. Senyum dan tawa yang hanya terdengar seperti gong memekikkan telinga, semua itu harus ditahan kuat-kuat tanpa ada omelan.

Mengundang Soo Ri untuk ikut makan malam keluarga? Jeon Wonwoo mendengkus pelan. Sama sekali bukan ide yang baik, tetapi ide semacam itulah yang ibunya idamkan untuk terwujud menjadi nyata.

Well, You Said It Was Over [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang