Malam itu, aku ingat bintang tengah berpendar cantik. Aku ingat angkasa tengah sibuk melukiskan seribu satu mimpi dalam tiap insan yang terlelap. Aku ingat cakrawala menyisipkan senyum dalam gelap, kendati esoknya hujan bergelung hebat.
Kini bayangan asa terjuntai liar dalam kepala. Aku ingin menggenggam, aku ingin mendapat satu bintang cantik yang dulu pernah kubuang sia-sia. Tetapi tatkala sadar diri telah menumpuk banyak dosa, tatkala ingat akan cinta yang hilang dengan pecahan beling berserakan, rasa-rasanya jemari tak 'kan mampu menggenggam lagi. Tak 'kan layak menggapai bintang elok setinggi langit.
Namun seolah tidak kapok pada pukulan realita, tubuh ini tak ingin menyerah pada kekalahan.
Satu bintang cantik itu masih menari-nari dalam kepala, berkeliling di tengah putaran memori yang rusak, berdansa dengan kecupan hangat.
Saat itulah aku ingat satu hal; bintang dalam gelap; satu yang paling benderang; aku berjanji akan menemukannya sekali lagi.
Gadis itu; aku yakin akan merengkuhnya dalam pelukanku lagi. Aku berjanji.
-Aurora Dream,
Jeon Wonwoo
LEE Hyun Ji masih ingat, dulu pernah dihantam mimpi baik dalam tiga malam berturut-turut; bertemu dengan seorang yang ia rindukan setengah mati, dapat menatap bola mata gelap dengan keindahan malam di dalamnya, dapat mengecup bibir tipis manis yang pernah menjadi candu dalam hidupnya. Semua kenangan pahit dan manisーsemua bercampur dalam satu kepulan euforia yang membuncah di dada. Semua benar-benar seperti realita; kau tahu, terhanyut dalam mimpi indah, merasa sentuhan hangat dan tubuh seolah tak ingin memberontak. Semua nampak nyata.
Namun tatkala ia terbangun tiba-tiba, tatkala merasa dada sesak dan mata memelotot lebar, gadis itu sadar semua hanya terjadi dalam rentetan mimpi. Ilusi tiada akhir, hanyalah potongan kenangan maya dalam kepalanya dan semua itu semu; terhubung menjadi serangakaian hal menyedihkan sebab itu tak pernah nyata lagi.
Air matanya luruh dalam sendu.
Mimpi baik pun ternyata memiliki lukanya sendiri.
Jadi tatkala malam ini gadis itu menemukan presensi seseorang tepat di depan mata, tatkala hari itu ia mendengar suara rendah yang membuat hatinya bergetar, tatkala kini mereka berdiri bersanding di tengah udara dingin malam, Hyun Ji harapーsekali saja, sekali dan ia benar-benar ingin Tuhan mendengar permohonannya malam ini; bahwa ini bukan sekadar mimpi belaka. Bahwa setelahnya ia tak akan terbangun di kasur dan kembali dihantam realita pahit.
Tidak mau.
Ini semua terasa nyata, bagaimana semilir angin membelai kulit, bagaimana pemuda itu berdiri dengan tubuh tegak dan bahu lebar, bagaimana ia tersenyum hangat dan memberinya secangkir kopi malam-malam. Ini tidak mungkin mimpi, 'kan?
"Bagaimana kabarmu?"
Hyun Ji menyisip kopinya pelan saat Wonwoo membuka suara. Masih suara yang sama; rendah, berat, namun kedengaran seksi dan ia mendadak ingin berteriak kencang-kencang. "Aku baik-baik saja."
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum.
"Kau ... bagaimana?"
"Aku baik, Ji." Wonwoo tiba-tiba saja menatap hampa pada tumpukan aspal di depannya. "Jauh lebih baik dari yang terakhir kali kauingat."
Oh, tentu saja. Lebih baik; lebih berkecukupan, kini menjadi penulis terkenal yang dikagumi orang, dan mungkin saja sudah menemukan sosok gadis baru.
Iya, pasti.
Jadi berusaha untuk menumpas harap dan menahan rasa kecewa, Hyun Ji nyaris larut dalam pikirannya sendiri tatkala Wonwoo membuka suara lagi, "Aku kira kau tidak ingin berbicara denganku lagi. Aku kira kau membenciku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Well, You Said It Was Over [Jeon Wonwoo]
Fiksi Penggemar[T E L A H T E R B I T] "Apa masih pantas bagi kita untuk kembali bersatu, setelah kau sendiri mencoba pergi dan mencari pengganti yang lebih baik?" ●○●○●○ Lee Hyun Ji tak pernah menyangka dunianya akan berbalik seratus delapan puluh derajat saat Wo...