Melukis indah manifestasi yang hilang dalam angan agaknya memang pilihan terbaik. Tatkala seluruh perasaan luruh dan menggenang, saat itu pula hati menjerit luka. Kenangan atau senyum, luka pun duka, mereka hanya akan menjadi semu. Sebab kepahitan terpendam akan memberontak, kesedihan akan bertindak dan saat itu ia sadar ...
... ia telah melakukan kesalahan besar.
UAP itu mengepul di udara, saling membaur satu sama lain, menyatu dengan seluruh campuran gas yang melayang hingga tertiup angin, sempat terombang-ambing sebentar sebelum akhirnya sirna; menghilang dari hadapan mata. Agaknya secangkir kopi itu sudah ada di sana bermenit-menit, sudah disiapkan dengan manis oleh pelayan kantin, pula sudah berkali-kali mengeluarkan asap seolah memanggil-manggil untuk disesap.
Tetapi tidak, Wonwoo tidak ada niatan untuk menyentuhnya sedikitpun.
Bahkan tatkala jarinya tak sengaja menyentuh ujung gelas itu, tatkala rasa panas menjalar dalam saraf-saraf tubuh, pemuda itu tetap tidak bereaksi apa-apa selain mengerjap dungu dan membuang napas keras-keras. Tubuhnya terduduk namun terasa mengambang, irisnya yang redup terpaku pada meja kantin, sementara pandangannya yang sayu perlahan berubah kabur.
Tak apa, menangislah. Sudah tidak ada siapa-siapa. Tidak ada ibu, Soo Ri, atau Hyun Ji. Ungkapkan saja, kau juga pantas untuk berkeluh kesah.
Pikirannya berkecamuk, saat itu masih ia paksakan untuk tertawa nanar kendati kerongkongannya lemah. Wonwoo mendongak menatap langit-langit ruangan, seolah hendak mengembalikan air mata yang sudah memupuk pada pelupuk mata namun saat itu pula tetesnya jatuh. Mengalir deras tanpa ampun. Dadanya lantas bergemuruh, isak tangis pun terlepas.
Di luar jendela, tampak rembulan bertengger manis pada tahta. Langit yang penuh kerlip bintang seolah mengolok Wonwoo yang tengah berduka sendirian. Sial, sial, sial. Hatinya bahkan masih dilingkup pilu, diselimuti kabung menyeluruh. Kantin rumah sakit agaknya akan tutup sebentar lagi. Sudah sepi, pengunjung banyak memilih pergi. Wonwoo masih betah duduk seorang diri, di pojok kantin, bersender pada dinding dan menatap jendela muram. Ujung kursinya berderit tiba-tiba, pemuda itu lantas menepis air mata.
Seorang pelayan datang, tersenyum dan membungkuk sopan namun Wonwoo sudah paham apa yang hendak wanita itu katakan. Tanpa menyesap kopi yang dipesan, pemuda itu lantas bangkit, kedua tangannya terkepal dalam saku celana, membungkuk sebagai formalitas sebelum menuntun tungkai melangkah melewati lorong yang gelap.
Setelah kantin tutup pun, Wonwoo masih tak dapat meredakan hati yang gundah.
Bahkan saat ia berusaha untuk menarik diri dari realita, bayangan kejadian hari ini masih sepenuhnya terputar dalam benakーtermasuk konversasi kecil yang berakhir menjadi debat panjang bersama lengkingan Soo Ri beberapa jam lalu.
"Kau bahagia sekarang?"
Bahagia, ya? Nanar. Wonwoo hanya dapat tersenyum tipis. Bagaimana ia dapat bahagia kalau separuh jiwanya telah pergi?
"Jawab aku, Jeon! APA KAU BAHAGIA SEKARANG?! Setelah semua yang telah kulakukan, setelah semua yang kukerjakan, setelah semua bantuan kuberikan, ini balasanmu?!"
Suaranya masih menggema walau hanya dalam benak, bahkan isak tangis yang sama, air mata meluncur pada pipiーsemua masih terekam dengan sangat amat jelas.
"INI BALASANMU, JEON WONWOO?!"
Balasan. Balas budi. Sebab Soo Ri telah melakukan hal baik.
Maaf, Soo Ri, tetapi si bodoh ini baru menyadari bahwa tak ada yang pantas disandingkan dengan cinta. Hati letih bila ia terus-terusan dipaksa untuk mengikuti kehendak orang lain. Tak ada wajah yang selamanya dapat mengulas senyum kendati dalam diri ia tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Well, You Said It Was Over [Jeon Wonwoo]
Fanfic[T E L A H T E R B I T] "Apa masih pantas bagi kita untuk kembali bersatu, setelah kau sendiri mencoba pergi dan mencari pengganti yang lebih baik?" ●○●○●○ Lee Hyun Ji tak pernah menyangka dunianya akan berbalik seratus delapan puluh derajat saat Wo...