21. About Loving and Losing; The Truth Left Behind

1.2K 158 5
                                    

LANGITNYA mendung lagi. Hujannya pasti akan kembali.

Hyun Ji menarik napas dalam-dalam, tak peduli saat paru-parunya terasa berat meski hanya untuk sekadar berkembang dan mengait butir oksigen. Rasanya sesuatu sedang menahan; sebuah beban digantungkan bebas dan entah kenapa itu makin membuat sesak. Udara berubah pengap, perlahan oksigen memudar terganti oleh pening kepala dan kening berkerut akibat paksaan untuk dapat terus berpikir normal. Samar-samar dalam balutan sesak di dada, aroma petrikor menelusup dalam indra penciuman tepat tatkala gadis itu membuka jendela dekat dengan pojok meja pribadinya, memberi celah tipis hanya agar dapat melihat lukisan langit yang tak pernah henti membuat takjub.

Pandangannya teralih, gadis itu tersenyum miris. Pada akhirnya yang ia temukan dalam pemandangan lewat celah tingkap hanyalah semburat kelabu, campuran abu-abu dan biru yang mendung. Tidak cerah, tidak membawa warna apa-apa. Sempat kecewa, sempat membuat ia mendengkus pelan dengan harap yang menguap. Hyun Ji bahkan harus menutup kembali jendela dan mengunci pengaitnya rapat saat tiba-tiba setetes air mengetuk kaca tingkapnya kemudian disusul tetes-tetes deras lainnya.

Benar, 'kan, hujannya datang lagi.

Gadis itu mengedarkan pandang pada kamar apartemennya sendiri, saat itulah sepi yang sedari tadi berembus benar-benar memeluknya erat. Tidak enak. Aneh. Padahal dari dulu ia tinggal sendiri, dari dulu ia berteman dengan sunyi yang kemudian diusir dengan tawa karena ada pesan-pesan Wonwoo berdenting memenuhi notifikasi ponselnya. Lalu, berhenti. Sepi kembali ketara, menjadi pendamping yang setia. Waktu berlalu, Hyun Ji dibuat lupa lagi pada kesendirian, karena saat itu candaan garing Dino selalu menjadi pengantar tidurnya. Dan saat ini, sudah tidak ada lagi.

Semuanya pergi.

Bukankah siklusnya memang begitu?

Hidup mengantar untuk bertemu, dalam sekejap memalingkan wajah, berpisah, lalu mengenang. Bertabur menjadi serpihan memori yang disimpan rapat dalam kepala.

Gadis itu tersenyum kecil. Dalam ingatan yang masih melekat sempurna, semua bayang diputar dan semua kejadian diungkap. Saat-saat di mana Dino masih sering mengajaknya makan siang bersama, saat-saat di mana semua masih baik-baik saja dan gadis itu bisa melempar tawa dengan bebas. Namun kemudian, tanpa diduga-duga kejadian semalam diputar. Kepalanya mendadak pening, berdenyut menahan sakit. Hyun Ji memijat pelipis dan saat itu senyumnya memudar.

Kalau kembali membayangkan semua yang pernah berlalu, kalau kembali mengingat semua getir yang akhir-akhir ini mengelilingi, Lee Hyun Ji yakin seratus persen, tak membutuhkan waktu lama untuk air matanya pecah, mengalir dalam bulir-bulir pedih menuju pipi dan dagu tanpa henti.

Tapi, tidak. Ia tidak ingin menangis.

Meski semua kebenaran tersingkap, meski sekarang Dino tahu masa lalunya dan melihat foto lama yang mengenang dalam galeri ponselnya, samar-samar dalam kepala yang bertambah lelah tiap detik, kalimat Dino tetap terngiang bagai suara sirene tanpa henti, lengkap dengan gurat tegas dan kaku yang saat itu masih ia ingat rupanya. Sayang sekali, tak ada senyum jahil yang dulu selalu bertengger pada wajahnya, tak ada candaan dan atmosfer berubah serius tiba-tiba. "Ji? Kau masih mencintai pemuda lain? Ah, maaf kalau lancang. Fotonya terpampang dan aku tak dapat menahan godaan untuk tidak membukanya. Maaf kalau kau merasa tak nyaman. Tapi untuk tawaranku yang tadi, tidak usah dipikirkan. Tidak usah buru-buru menjawab. Kalau yang kaumau adalah pilihan terpahit yang bisa kudapatkan, aku akan mencoba untuk mengerti. Ayo, kita pulang."

Well, You Said It Was Over [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang