1. He Has Gone

4.8K 465 35
                                    

SEKARANG, semua hanyalah ilusi pendek yang membuatku semakin merindukanmu, Jeon.

Terselimut gelap, didekap kelam. Nyaris terisak, Hyun Ji buru-buru mengusap air mata. Udara di sini pengap. Menyesakkan. Dan kendati matanya menjerit lelah karena terlalu sering menangis, gadis itu tetap tak dapat berbuat apa-apa untuk menghilangkan atmosfer menyedihkan itu dalam kamarnya.

Tenggelam dalam kesedihan yang begitu dalam ternyata membuat Hyun Ji sadar, bahwa kehidupan tidak sesederhana gambaran mimpi dan angan yang pernah ia pikirkan. Justru dalam tiap detik penuh harap, gadis itu bahkan tak pernah tahu, waktu mencoba membunuhnya perlahan. Hyun Ji pernah merancang masa depan, menulis mimpi dengan senyum mengulum lebar, berharap penuh keyakinan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.

Namun dalam denting jam yang bahkan terasa begitu cepat, alam mencoba memberitahunya, kepercayaan dan harap berlebih yang ia letakkan pada seseorang hanya akan berakhir kekecewaan. Waktu memang musuh terbesar, penghancur angan hingga remuk tak tersisa. Siapa sangka, semua mimpi yang larut dalam doa tiap malam harus runtuh perlahan karena sebuah rasa? Sebuah titik akhir yang mencekam. Titik balik kehidupan.

Percayalah, tak semua jalan diberikan begitu mulus. Tak semua penutupan berakhir indah. Tak semua hal yang kau inginkan menjadi nyata. Beberapa justru menyangkut dalam angan, melayang tanpa arah, dan akhirnya terhenti sebagai kenangan. Tersekat di sela-sela mimpi yang pudar.

Memilukan. Menyesakkan.

Rasanya bahkan berpuluh-puluh kali lipat lebih menyakitkan dibandingkan saat jarinya teriris pisau dapur. Ah, Hyun Ji masih dapat mengingat jelas bagaimana rasa sakitnya. Hanya sebersit perih, sebuah ringisan pelan lalu berakhir begitu saja. Tidak ada apa-apanya lagi. Bahkan saat ingin kembali memperjelas, perih yang dihasilkan dari sobekan kulit karena goresan benda tajam hingga menghasilkan darah merah segar yang mengalir perlahan tidak sebanding dengan rasa sakit yang menggelayuti hatinya sekarang.

Gadis itu mendesah pelan, mengusap pipi kasar demi menepis air mata yang turun perlahan. Rambutnya basah oleh keringat, tubuhnya gerah sementara wajahnya lengket bekas air mata. Sudah tujuh hari ia mendekap diri dalam kamar sembari menangis. Sudah banyak waktu ia buang dengan benak melayang pada Wonwoo. Bahkan dalam balutan udara pengap yang memenuhi ruang kamarnya, Hyun Ji tetap berusaha sebisa mungkin membangun puing-puing harap yang sempat hancur, semangat yang patah hanya karena seuntai nama.

Sejenak, gadis itu tercenung dalam diam, memperhatikan betapa berantakan kamarnya sekarang.

Bukankah ini semua disebabkan oleh Wonwoo?

Hanya nama itu yang terlintas. Hyun Ji lantas menggeleng cepat. Masih dengan mata sembab dan hidung memerah, gadis itu berusaha mengepalkan tangan kuat, berusaha menekankan tekad yang memang sedang ia butuhkan. Sebuah keputusan untuk meninggalkan lembaran lama kehidupan.

Tidak boleh ada lagi Wonwoo dalam pikiran. Tidak, selama ia ingin sembuh dari keterpurukannya.

***

"Jadi, ia memutuskanmu secara sepihak?"

Itu suara Ara, terdengar begitu lirih dan mengandung nada kasihan yang tulus. Genggaman jarinya juga terasa hangat, seolah ingin menyalurkan semangat yang memang sedang Hyun Ji butuhkan. "Tak apa, Ji." Gadis itu mencoba menghibur, "kau tahu, hubunganku berakhir tragis 8 kali sebelum akhirnya aku bertemu Mingyu. Kegagalan dalam hubungan awal itu lumrah."

Andai semudah itu untuk bangkit dari keterpurukan, mungkin sekarang Hyun Ji juga tak perlu repot-repot menemui Ara di kantin universitas dengan mata sembab dan wajah jelek akibat menangis semalaman. Kalau saja tak mengingat beasiswa yang telah ia dapatkan dengan susah payah di universitas ternama ini, mungkin sekarang gadis itu masih akan meliburkan diri beberapa hari lagi. Mengikuti kelas dengan perasaan yang masih bergulat hebat toh nyatanya tak mengubah apa-apa.

Well, You Said It Was Over [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang