31. We Trapped In Those Old Memories (Again)

923 128 9
                                    

Cinta berlabuh. Detikku terhanyut.

Kini aku paham, untuk semua asa dan harap yang
kusemogakan agar menjadi nyata, memang ada masanya.

Sebab aku percaya, semua akan jadi lebih indah ...

... pada waktunya.

SEGELAS vanilla latte hangat. Bising pengunjung yang datang, kerincing bel saat pintu kaca dibuka dan bagaimana bunyi mesin tatkala kopi diseduh membumbung menjadi satu. Derit sepatu yang beradu dengan lantai kayu, riuh obrolan pengunjung di café pun ikut menyatu, pada akhirnya menjadi penggiring suara atas setiap cairan yang disesap; menggelayut di udara dan menjadi iringan yang sempurna. Nikmatnya latte lantas menyapu permukaan lidah, hingga berakhir mengalir ke tenggorokan.

Sempurna.

Lee Hyun Ji selalu rindu suasana senja yang berakhir sedemikian rupa. Bagaimana matanya dimanjakan oleh dekor café dengan segala macam seni dari ukiran kayu sederhana di tiap sudut temboknya, bagaimana pemandangan luar jendela tatkala matahari menyemburkan sinar terbaiknya sebelum tenggelam dalam permukaan, juga bagaimana telinganya diisi oleh bising dari meja sebelah. Semua itu indah, terlalu bermakna untuk disia-siakan begitu saja. Kendati ini bukan café besar yang terletak di tengah kota, tak apa. Kau tahu, terkadang tak perlu tempat mewah dengan kelap kelip lampu serta aksesoris mahal untuk menciptakan sebuah memori indah yang bisa dikenang sampai tua.

Sederhana, sebetulnya; kopi, senja, kayu-kayuan. Dan buku sebagai pelengkap. Terlalu indah untuk dilewatkan.

Namun, highlight utama tempat ini bukan itu saja.

Sebab semua hal kecil nan sederhana yang ia lihat tak akan berarti tanpa kehadiran seseorang di sampingnya sekarang; duduk di kursi kayu berenda, menyesap latte hangat dengan rasa berbeda, matanya yang teduh nampak asyik mengeja huruf pada sebuah buku tebal di genggaman sebelum tiba-tiba menoleh, mempertemukan iris gelapnya dengan iris bulat Hyun Ji.

Gadis itu lantas terperangah. Ia tidak menyiapkan mental sebelumnya tatkala mata Wonwoo mengarah padanya secara tiba-tibaーpadahal tadi ia sedang asyik menikmati bagaimana wajah rupawan itu dipahat dengan begitu sempurna. Jadi sebagai gerakan refleks atas keterkejutan, Hyun Ji tak butuh banyak waktu untuk membuang wajah dan menggaruk tengkuk, secara tak langsung berniat untuk menyamarkan pipinya yang memerah dari pandangan Wonwoo walau tahu itu tak memberi efek banyak.

Wonwoo mendengkus geli. "Hei, kau kenapa?"

Ah, menyebalkan. Di masa-masa seperti ini, Wonwoo malah tertawa lepas seolah tidak ada hal besar terjadi sementara lawan bicaranya menahan detak jantung yang meronta gila-gilaan. Hyun Ji yang sudah kepalang malu hanya bisa menggeleng kaku. "T-tidak, tidak apa-apa."

"Tapi pipimu memerah," Wonwoo menyahut tenang, senyumnya masih tersemat di bibir dan nada bicaranya berubah sedikit menggoda tatkala menyambung, "Apa kau masih malu saat kutatap begini? Terakhir kuingat, kau selalu mengalihkan pandang dengan wajah memerah saat aku menatapmu dengan tiba-tiba. Padahal, aku belum bicara apa-apa."

Sial, sial sekali. Wonwoo berhasil memancingnya dalam godaan dan gadis itu refleks menyangkal membela diri, "Enak saja. Tidak selalu, kok."

"Tetapi pernah, 'kan?"

E-eh ...

Hyun Ji berdecak malu saat Wonwoo terbahak puas. "Astaga, kau tidak berubah, Won. Masih sering menggoda, masih sering membuat orang kesal juga senang di saat yang bersamaan."

Wonwoo mengganti tawanya menjadi senyum. Disesapnya sebentar latte hangat yang tinggal separuh itu, membiarkan cairan kopi pekat membasahi tenggorokannya sebelum pemuda itu berdeham dan membalas, "Tentu saja. Setidaknya aku masih dapat menjadi pemuda yang menyenangkan di matamu."

Well, You Said It Was Over [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang