21# Pengumuman

46 10 2
                                    

"Juara 2 peserta dengan nomor urut 222, Fannia Farhana" kata si pembaca nominasi, membuatku langsung melihat ke kartu peserta ku. Memastikan bahwa 222 adalah nomor peserta ku. Dan ternyata benar. Itu nomor peserta ku.

Nat langsung memelukku dan memberikan semangat, menyalami ku dengan hangat lalu aku berdiri dan berjalan ke depan. Menaiki panggung dengan segala hormat dan rasa bangga. Satu langkah lagi mang Udin akan terselamatkan. Aku harus berusaha lebih keras.

Acara penghargaan selesai, kini semua orang kembali pulang, begitu pun aku dan Nat, kami sudah berpisah​ sejak 15 menit yang lalu, Nat dijemput oleh gurunya dan kembali ke hotel.

Aku menunggu driver grab di halaman kampus yang menjadi tempat olimpiade ini, banyak orang yang melihatku dengan mata berbinar, mungkin bukan ke arah ku, tapi piala yang ku bawa.

Aku melihat Xavier sedang berjalan bersama gerombolannya, melihat ku dengan tatapan sinis, seolah tidak terima piala ini ada di genggaman ku.

Driver grab itu tiba dengan mobil Sigra berwarna putih, drivernya keluar dan membantu ku memasukan platform juara yang ku bawa ke dalam bagasi mobilnya. Lalu aku masuk ke dalam mobil dan mobil itu melaju, membawaku pulang ke apartemen.

Ada bang Rendra dan keluarga kecilnya di depan pintu apartemen ku, bang Rendra terlihat sibuk menelfon, lalu istri bang Rendra melihat ku yang terlihat kerepotan membawa tas, buket bunga besar, piala dan platform sekaligus.

"Itu Fannia" ucapnya lega

"Kamu habis dari menang lomba?" Tanya bang Rendra melihat ku bingung

"Ih bantuin dulu Fannia nya dong pa" kata istri bang Rendra yang sedang menggendong ...(anak bang Rendra)

"Tau nih bang Rendra, gatau ribet apa" kata ku

"Yaudah yaudah sini dibantuin" kata bang Rendra mengambil alih platform dan piala ku

Lalu aku membuka pintu apartemen dan mempersilahkan mereka masuk.
Mereka langsung duduk di sofa, sepertinya sangat lega, mungkin karena sudah terlalu lama berdiri,

Buket bunga yang tadi ku bawa ku taruh diatas meja. Lalu aku pergi ke dapur untuk mengambil sekotak susu dan tiga gelas kosong.

"Kamu kenapa ditelfon nggak nyaut nyaut sih? Untung aja kamu keburu dateng, kalo enggak udah kita tinggal kali" kata bang Rendra sambil meletakkan piala ku yang barusan ia lihat dengan seksama  di atas meja

"OIYA lupa, hp aku tadi di silent soalnya, lupa nggak aku aktifin lagi volumenya hehe" kata ku menaruh kotak susu dan gelas diatas meja

"Nih Pa minim dulu" ucap tante... Menyerahkan gelas berisi susu dingin kepada suaminya

Lalu dia menuangkan susu itu juga untuk ku, seolah dia tuan rumahnya, hahaha tante... Memang sebaik itu orangnya, dan kita juga sudah sangat dekat, jadi hal seperti itu sudah lumrah.

"Minum Fan" katanya menyerahkan segelas susu, langsung ku minum setengah.

"Makasih tante" kata ku selesai minum

"Jadi ada perlu apa bang?" Tanya ku langsung ke intinya seperti biasa. Aku benci basa-basi.

"Jadi gini, abang ini lagi ngurusin calon proyek kamu selanjutnya di luar negri, abang sama istri abang mau ke Denmark seminggu, kamu tolong urusin Qila bisa kan?, Cuman seminggu doang kok" kata bang Rendra membuat mata ku berkedip-kedip​

"Cuman seminggu kok Fan, bisa yaa" tambah tante...

"Emang nya nggak ada sodara atau apa gitu bang Rendra sama tante... Buat jadi tempat penitipan anak?"

"Sodara kita jauh jauh semua, lagian juga Qila nya pengen sama kamu, abang sama tante juga udah percaya banget sama kamu" kata bang Rendra

"Umm gini ya bang, bukannya​ aku nggak mau Qila dititipin disini, tapi aku tuh-"

"IYA, tante tau, kamu nggak suka anak kecil kan, tolong ya Fan, pesawat kita berangkat 2 jam lagi, mana sempet cari orang lagi buat nitipin Qila, semua perlengkapan nya Qila udah tante siapin semua kok, kalo Qila​ minta apa-apa tante udah siapin uangnya di amplop ini, yah sayang yaa, toloooong banget, ini kan demi karir kamu juga" kata tante ... Berlutut di depanku dan berbicara dengan cepat

"Kenapa Qila nggak diajak sekalian aja sih?, Aku tuh-"

"IYA abang tau Fan kamu nggak suka berisik, apalagi digangguin Qila seminggu, tapi kali ini abang bener bener minta tolong​ sama kamu Fan, ini demi karir kamu juga Fannia, dan abang juga cuman bisa percayain Qila sama kamu, bisa yaa jagain Qila seminggu, tolooong banget" kata bang Rendra yang ikut berlutut di depan ku seperti tante
...

Aku hanya diam, mau berbicara lagi juga pasti mereka akan memotong kalimatku sebelum selesai.

Sebenarnya kasihan juga, tapi aku harus benar-benar fokus belajar, ada seseorang yang telah ku pertaruhkan hanya karena keisengan ku

Awalnya memang aku hanya iseng iseng saja ikut olimpiade ini, tidak tau juga kenapa aku dengan bodohnya bisa seberani itu menantang kepala sekolah.

Sekarang aku bingung. Apa yang harus aku lakukan????

Hingga saat ini aku masih diam, melamun sambil memikirkan bagaimana cara membagi waktu antara menjaga Qila dan belajar, tapi bagaimana jika usahaku tidak maksimal?

Banyak yang masih harus ku pelajari dan waktunya hanya tersisa seminggu lagi, belum lagi ini adalah Olimpiade tingkat internasional, pasti lawan lawan ku akan lebih berat dari sebelumnya

Lalu saat aku sekolah Qila bagaimana? Jam pulang sekolah nya Qila juga berbeda dengan sekolah ku. Haduh, kenapa jadi pusing begini sih

Bang Rendra dan istrinya mendesak ku untuk menjawab sambil berkali kali melihat jam tangan mereka, aku masih diam, tidak tau harus menjawab apa.

"Ah kelamaan kamu, kalo diem berarti iya" kata bang Rendra seenaknya seraya berdiri di ikuti istrinya

Aku langsung terperangah dengan ucapan itu, tapi aku masih diam, tatapan ku menengadah tidak percaya

"Ayo Ma, kita berangkat. Bisa ketinggalan pesawat nanti" katanya lalu pergi begitu saja meninggalkan aku dan Qila yang sedang tertidur pulas di sofa.

Gila. Anjir parah. Bencana nih.

Aku mencoba untuk menenangkan diri ku, mungkin aku saat ini terlihat diam dan anteng anteng saja, tapi dari dalam diriku tidak usah ditanya, aku bingung sejadi jadinya.

Jariku mengetuk-ngetuk​ seperti sedang bermain piano, kebiasaan ku kalau sedang bingung atau sedang memikirkan sesuatu.

Akhirnya ide itu tercetus dari kepala ku, membuat ku lega dan dengan segera menelfon Michele, langkah pertama menjalankan rencana itu.

Tidak diangkat.

Ku tekan tombol hijau sekali lagi dan terdengar seseorang berbicara dari sebrang sana

"Halo Fannia"

Deg.
Kenapa jadi suara Andre yang ku dengar?










.
.
.
.
.
.

Happy reading gais:)))

Makasih yang udah baca, yang udah vote dan jangan lupa coment negatif atau apapun​ terserah, karena komentar dari kalian akan sangat sangat membantu Author untuk terus berkarya

Makasih:)))

KLASSIKAL (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang