18: School (3)

187 28 12
                                    

Satria mengunjungi ruang tata usaha dan mengurusi kepindahannya. Alasan ia pindah adalah lingkungan belajar yang kurang mendukungnya. Ia melaporkan jika ia menjadi korban dari Desta dan premannya. Berkat alasan itu prosedur dan surat pindahnya dengan cepat dibuat. Satria mendapatkan beberapa kata perpisahan dari kepala sekolah dan juga nasihat untuk tetap tegar.

Karena di sini Satria sendiri, ia tak memiliki wali ataupun orang tua. Maka kolom orang tua ia tanda tangani sendiri. Bel istirahat pertama berbunyi. Satria masuk ke ruangan kelasnya, atau lebih tepatnya ruangan yang dulu pernah menjadi kelasnya dan mengambil tas ranselnya setelah memasukkan raport dan dokumen dari kepala sekolah. Menatap ruangan itu untuk beberapa saat, Satria berjalan keluar.

"Satria, kau mau kemana?" panggil seseorang dari belakang.

Satria menengok kebelakang dan melihat wajah orang yang memanggilnya. Satu-satunya orang di sekolah ini yang menurutnya benar-benar baik. Jiwa murni tanpa kebohongan atau kenajisan duniawi. Sebuah makhluk polos dan lugu yang saat ini sudah sangat langka. Satria menatap mata Lisa dengan sedikit hilang, tapi kemudian ia tersenyum cerah.

"Lisa, terima kasih untuk tadi pagi. Aku akan pindah dari sekolah ini. Sampai jumpa di lain waktu dan lain kesempatan." Kata Satria yang kemudian melangkah menjauh dengan cepat.

"Pindah? Satria! Tunggu dulu! Hei! Aku butuh penjelasan! Apa-apaan dengan acara pindah sekolah! Hei!"

Elisa mengejar Satria, tak punya pilihan lain Satria melihat sekali lagi perempuan itu.

"Kali ini apa?"

"Apa? Kau, kenapa kau tidak bilang kepadaku? Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi, kau tiba-tiba tak masuk sekolah, lalu setelah masuk kau langsung mau pindah?! Apa yang terjadi!? Apakah kau ada masalah? Bilang kepadaku jika ada, sebisa mungkin akan kubantu."

Elisa dengan cepat berkata. Membuat senyum tipis terbentuk di bibir Satria. Ia heran, mengapa perempuan sepertinya selalu peduli dan perhatian kepadanya. Elisa melakukan semua itu entah sejak kapan, Elisa selalu saja menaruh perhatian ekstra kepadanya.

Bukan berarti Satria tidak suka dengan hal itu, tapi rasa inferioritas tumbuh dari dalam dirinya karena Satria bukanlah siapa-siapa sedangkan Elisa itu murid teladan. Satria juga tahu meski penampilan Elisa tak jauh berbeda dari kebanyakan, tapi orang tuanya sangat sukses dan bisa dibilang sangat kaya.

Dulu Satria merasa benci kepada Elisa, ia merasa jika Elisa mendekatinya untuk membandingkan dirinya, menunjukkan jenjang sosial yang berbeda. Ia merasa jika Elisa seakan mencemooh dirinya yang tak punya apa-apa lagi di dunia ini. Seakan Elisa dikirim dunia untuk memperburuk keadaannya.

Tapi Satria menjadi terbuka saat Elisa selalu membantunya di saat tidak ada orang yang berada di pihaknya. Elisa selalu ada di sisinya. Itu membuatnya tahu jika Elisa benar-benar tulus dari dalam hatinya untuk berteman.

Satria juga merasa jatuh hati kepadanya, tapi kompleks inferioritas kembali menyerangnya. Ia tak mungkin bisa bersama Elisa jika dirinya tak punya apa-apa. Itu juga menjadi dorongannya untuk bekerja keras. Tapi saat ia sadar itu sia-sia, Satria menyerah akan perasaannya.

Dari dalam hatinya, ia menginginkannya. Menginginkan Elisa ini ada di sisinya.

Elisa juga menaruh perhatian spesial kepada Satria karena alasan kuat yang ada hubungannya dengan masa lalu. Mungkin cerita ini dilupakan Satria, tapi Elisa mengingatnya di dalam hati terdalamnya.

Sepuluh tahun lalu Elisa dan Satria bersekolah di SD yang sama. Elisa yang mana pindahan dari kota lain adalah anak kecil pemalu dan penakut, ia sering dijahili dulu sewaktu SD.

Pertamanya karena hal sepele, yaitu barang yang dipakai Elisa selalu barang mahal. Pensil mahal, penggaris mahal, semua peralatan tulisnya bermerek dan mahal. Itu membuat teman-temannya iri lalu akhirnya Elisa dijahili dan sering sekali alat tulisnya dicuri. Tak lama, satu kelas hampir semua mendapatkan kesenangan menjahili Elisa.

Dimensional MerchantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang