24: Wight

151 21 2
                                    


Malam hari di Lembah Floirmont. Para budak ada yang berjaga ada pula yang terlelap mereka tertidur di tenda. Regu penjaga malam diputuskan bergantian tiap harinya. Seperti apa yang dilakukan saat menjaga ronda. Setelah mereka menjaga di malam sampai pagi, siang harinya mereka diperbolehkan untuk tidur sampai waktu makan siang tiba.

Satria Purnama masih belum tahu kengerian dan menakutkannya Demonic ataupun Night Creature. Ia belum pernah melawan makhluk semacam itu sebelumnya. Kemarin hari ia melihat Wight, salah satu dari Night Creature dari kejauhan dan kegelapan malam. Memang penampilan mereka yang seperti zombie di karya fiksi ilimiah pasca kiamat membuatnya sedikit merinding. Tapi dengan itu saja masih belum membuatnya merasakan takut yang histeria.

Mungkin karena ia terlalu biasa melihat zombie di permainan FPS atau sejenisnya, atau mungkin kepribadiannya berubah menjadi ampuh dan tak kenal takut berkat senjata hebat bernama pistol tangan. Ia merasa tidak apa-apa bila harus melawan Wight itu.

Dan itu semua mengantarkannya di situasi saat ini. Berdiri di depan perkemahan, ia berjaga bersama 20 budaknya. Lindis juga ada di sisinya, dengan busur olahraga ia berjaga dari serangan yang mungkin saja terjadi. Lindis duduk di sebelahnya dan sesekali mencoba mencium bau tubuh Satria.

"Satria ..., kau, masih belum melakukannya dengan Thyst Alaistar kan?"

"Huhh ..., apanya?" Satria pastinya tahu apa yang dimaksudkan Lindis. Tapi ia berpaling dari apa yang Lindis katakan untuk berpura-pura tak paham.

"Kau pasti tahu apa yang kumaksudkan ... itu ..., anu, yang ena-ena'an." Lindis menatap tajam Satria, mencoba melihat apakah ada kebohongan darinya.

"Tidak, aku tidak ..., melakukannya dengan Thyst. Lagian, wanita seperti dia membuatku takut." Satria menarik Lindis dalam pelukannya dan mulai berkata pendapat pribadinya tentang wanita bangsawan yang kini tertidur di tendanya.

"Jadi kau takut dengan Thyst? Mengapa ...? Bukankah dia tipe wanita idealmu? Dibandingkan aku yang tidak ada unsur feminimnya sama sekali, pasti dia lebih menarik bagimu kan?" Lindis menunjukkan kekhawatirannya yang tidak biasa, kecemburuan dari perkataannya juga Satria sadari adanya.

"Uhmmm ..., kalau itu aku tak tahu. Aku tidak tahu apa yang menjadi idealku, aku tak pernah memikirkan hal itu. Lagian ..., di tempatku berasal, aku tak cukup baik menangani cewek."

Itu benar, Satria tak pernah punya hubungan baik dengan cewek. Seperti Felicia, teman kelasnya, kedua saudari tirinya, atau siapapun itu sembarang orangnya. Satria tak pernah bisa mengobrol santai dengan cewek lainnya, mungkin itu karena ia selalu merasa minder akibat kurangnya kehidupan dari dirinya.

"Iyakah ...? Lalu, darimana kau mempelajari teknik-teknik itu?" Tanya Lindis dengan polosnya.

Satria tahu apa yang dimaksudkannya, ia membicarakan tentang teknik dan juga postur saat mereka berdua berhubungan ***. Lindis bertanya itu dengan polosnya, meski topik yang ditanyakan itu bukanlah sesuatu yang bisa ditanyakan dengan wajah tanpa dosa seperti itu.

"Yahh ..., kau tahu, melalui berbagai macam hal, aku mempelajari itu semua." Satria mencoba menjawabnya dengan merasa sedikit bersalah dalam hatinya.

"Hehhh ..., tapi itu menyenangkan. Aku belum pernah melakukan itu sebelumnya jadi tak tahu bagaimana rasanya, tapi melakukannya denganmu membuatku senang." Kata Lindis dengan senyum menatap Satria tepat di matanya.

"Lindis, kau tidak istirahat? Kemarin kau juga berjaga kan?" Satria mencoba untuk mengganti topik karena ia sudah melepaskan semua pelurunya kepada Lindis tadi pagi dan siang. Meski batang yang ada di selangkangan mengeras, ia tak punya energi untuk itu. Gadis pemburu itu menguap dan menjawabnya.

Dimensional MerchantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang