16: School (1)

195 26 0
                                    

Aaahhh ... mager!

Satria berbaring di kasur kamar kosnya, pagi ini ia memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Ia sudah menetapkan hatinya untuk tidak mengunjungi tempat yang diabaikan Tuhan yang disebut sekolah. Ia merasa muak dengan semua orang di sana. Baik itu guru, murid-murid lain, teman kelas, mereka semua tak ada yang baik.

Atau setidaknya itulah yang dipikirkan Satria tentang mereka. Ia sudah bertekad bulat untuk tidak masuk sekolah hari ini. Ia juga sudah bertekad untuk berpindah sekolah ke SMA swasta agar dirinya bisa lebih leluasa. Sekolah yang mana meskipun dirinya tak pernah datang dan mengikuti pelajaran, ia tetap lulus. Ia ingin pindah ke sekolah seperti itu. Satria sudah menyusun agenda seperti itu.

Hanya saja, pagi-pagi sekali dia menerima kunjungan tak biasa dari seseorang yang tidak terlalu dikenalnya.

Pukul 06.10 WIB, Satria yang masih ada di kamar kosnya mendapatkan seseorang mengetuk pintunya. Ditengah kesibukan pagi seperti ini, ketukan yang hanya menghasilkan suara kecil seperti itu hampir tak terdengar. Dan bisa saja itu adalah suara ketukan pintu sebelah.

Satria tetap membuka pintu kosnya untuk melihat siapa itu. Ia tidak berharap akan ada orang di depan pintunya. Lagian, siapa juga yang punya keperluan dengannya pagi-pagi seperti ini. Satria membuka pintunya.

"Maa ..., walau sudah kubuka, pastinya tidak mungkin ada ora—, huh?"

Dan tak seperti yang ada di pikirannya, ada seorang cewek yang menunggu di depan pintunya membawa tas tangan dan tas ransel.

Cewek itu mengenakan baju putih dan rok abu-abu SMA. Sepasang mata itu menatap Satria dengan penuh tanda tanya di balik kacamatanya. Rambut panjangnya bergelombang dan terlihat sangat lembut menghias kepalanya. Cewek kacamata itu mengedipkan mata besarnya untuk beberapa saat karena perkataan Satria.

"Lisa?" tanya Satria sedikit tak percaya.

"Ee ... selamat pagi. Satria, aku datang menjemputmu loh. Kau tidak siap-siap ke sekolah?"

"Elisa Andrea?"

"Ee ... Satria, itu aku." Balas cewek itu dengan senyumnya.

"Kenapa kau ada di sini?"

"Hei, yang seharusnya menanyakan pertanyaan itu aku. Kenapa kau tidak berangkat dari hari Selasa sampai Jumat minggu kemarin? Di mana saja kau? Tidak ada surat izin atau pemberitahuan, sebenarnya apa yang kau lakukan? Tidak mengangkat telepon lagi, apa maksudmu itu?" balas Lisa dengan bertubi-tubi.

"Tidak, aku tidak ... sebenarnya aku ..."

"Sudah, sekarang kau siap-siap. Aku tunggu di depan. Jangan sampai kau membuatku terlambat."

"O-oke ..."

Satria bergegas mandi kilat dan tak lama ia sudah berseragam baju putih celana abu-abu. Memakai dasi dengan sedikit longgar, ia keluar mengenakan sepatu hitamnya. Mengambil tas ransel dan juga helm. Buku? Tentu saja Satria tak membawa satupun. Bahkan di dalam tas ransel itu masih ada beberapa lembar uang yang di tariknya kemarin.

"Cepatlah! Kita hampir terlambat." Kata Lisa menyuruh Satria untuk mempercepat langkah kakinya.

Satria bergegas menuju motornya, ia menyalakan motor itu lalu memanasi mesinnya. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 06.29. Jika mereka tak bergegas bisa-bisa mereka terlambat. Dan Lisa tak ingin hal itu terjadi. Lisa berteriak sekali lagi.

"Huh, Satria ... kita bisa terlambat. Kita boncengan saja."

"Boncengan ..., pakai motormu?"

"Ayo, cepatlah!"

Dimensional MerchantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang