BAB 5

336 55 10
                                    

"Jangan terlalu serius sama buku bacaan, karena keseriusan kamu hanya boleh buat aku seorang."-Ryan-

***

Viona sudah kembali ke rumah Ayahnya. Kemarin malam sang ayah menjemputnya di rumah Nia setelah wanita paruh baya itu membujuk sang ayah. Nia mengatakan bahwa Viona sudah mulai ada kemajuan dalam hal akademik, terbukti kemarin ia lulus remedial ulangan biologi meski nilainya sangat mepet KKM. Tapi berkat bujukan Nia, Danar akhirnya mau menjemput anak itu untuk tinggal di rumahnya lagi. Viona pun menurut karena tidak dapat dipungkiri bahwa ia sangat membutuhkan ponsel, ATM, kartu kredit dan semua fasilitas yang diberikan ayahnya. Hari ini pun ia sudah berangkat sekolah lagi diantar sopir ayahnya. Hari ini ia juga membawa kotak Tupperware berisi roti sandwich yang ia buat sendiri untuk Elang sebagai tanda terima kasih. Ya, berkat bantuan cowok itu ia lulus remedial dan bisa kembali berdamai dengan sang ayah meski tidak sepenuhnya berdamai 100%.

Viona menghampiri Elang yang duduk di bangku kayu panjang sebelah lapangan basket. Si ketua OSIS itu terlihat sibuk dengan bacaannya yang sepertinya sebuah novel. Viona pun ikut duduk di sebelah Elang. Namun Elang hanya acuh tak acuh dan masih serius dengan bacaannya.

"Ini buat lo," ujar Viona sembari menyodorkan kotak Tupperware itu.

Elang menolehkan kepalanya, menatap Viona judes.

"Muka lo nggak usah judes kayak gitu! Ini isinya sandwich kok, bukan bom atom. Jadi muka lo tolong lebih santai dikit, El," ujar Viona lagi. Ia berusaha mencairkan bongkahan es di sampingnya. Sesekali ia melirik buku bacaan yang dipegang Elang. Hear the Wind Sing, novel itulah yang sedang dibaca Elang. Novel karangan Haruki Murakami itu pun bukan terjemahan versi bahasa Indonesia, melain terjemahan bahasa Inggris. Seketika kepala Viona terasa pening meski tidak ikut membaca isi novel itu. Membaca judulnya saja seakan bisa membuatnya gila mendadak.

"Nggak usah repot-repot," jawab Elang datar.

"Nggak repot sama sekali, kok. Gue ngasih ini buat lo sebagai tanda terima kasih aja karena berkat bantuan lo, gue lulus remedial biologi. Dan gue udah balik lagi di rumah bokap."

"Nggak usah ngasih tanda terima kasih juga nggak masalah. Tante Nia kan udah bayar gue dengan gaji yang besar buat minterin lo yang cuma punya IQ 80," timpal Elang sekenanya. Faktanya IQ Viona tidak serendah itu.

"Nggak apa-apa gue ikhlas ngasih itu buat lo. Siapa tahu lo belum sarapan tadi."

"Ya ... siapa tahu juga lo ngasih racun laba-laba atau bisa ular kobra di makanan itu. Lo kan nggak suka sama sikap gue selama ini."

Viona mendengus kesal. Rasanya ia ingin menendang sosok di sebelahnya ini ke kutup selatan. Gadis itu ingin mengeluarkan kekuatan taekwondonya, tapi niat itu diurungkan mengingat nilainya meningkat setelah belajar dengan Elang.

"Gue nggak tahu kepala lo itu isinya otak atau bubuk cabe. Pedes banget!" cecar Viona. Gadis itu akhirnya meletakkan kotak bekal itu secara sembarangan di sebelah Elang. "Gue nggak peduli lo mau makan atau enggak, yang jelas gue udah susah payah bangun lebih pagi buat bikinin lo sandwich ini," cecarnya sekali lagi.

Viona bangkit dan berlalu begitu saja. Tentu saja dengan gumaman yang tidak jelas. Ia benar-benar jengkel. Seandainya Elang bukan tentor lesnya, mungkin ia sudah menendang Elang keras-keras atau melempar Elang ke dalam kolam ikan di depan lab biologi. Sepersekian sekon setelah Viona berlalu pun, Elang sama sekali tidak peduli. Ia terlalu sibuk dengan novelnya.

"Morning, Big Boss!" sapa Ryan yang datang bersama personil cecunguk yang lain, Evan dan Edo.

Ketiganya langsung duduk di space kosong bangku panjang yang diduduki Elang. Namun, si ketua OSIS tak bergeming dan masih fokus dengan bacaannya. Lebih tepatnya ia malas menanggapi ocehan ketiga temannya yang sering tidak berkualitas. Apalagi ocehan si Ryan. Ya, setiap ada Ryan disitulah gombalan-gombalan receh bertebaran.

About ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang