01

34.1K 3.2K 339
                                    

Aku terbangun, berdesis pelan seraya memegangi kepala yang meninggalkan sisa pening.

Mataku mengerjap begitu menyadari bahwa ruangan yang sedang kupakai bukanlah kamar tidurku, melainkan sebuah kamar besar dengan dinding putih dan lantai kayu. Ranjangnya pun tak dapat merusak tulang kendati tidur seminggu penuh. Berbeda dengan punyaku yang sempit dan tidak mau berkompromi dengan tubuhku.

Kakiku turun dari ranjang seiring dengan punggung yang mulai tegak. Lalu pening lagi-lagi datang manakala kepalaku mulai bekerja dengan baik dan memori kejadian siang tadi membuatku dongkol seketika.

Ini pasti kamar si sialan Jungkook!

Kuluruskan pandanganku; tepat di pintu putih yang sedikit terbuka yang kuyakini menghubungkan kamar ini dengan ruangan yang lain.

Saat kakiku hendak berdiri seluruhnya, pintu tiba-tiba terbuka hingga membuatku menggagalkan niat untuk pergi secepatnya dari sini.

“Nona, seharusnya kau tidur saja. Ck!”

Kusunggingkan satu sudut bibirku setelah kalimat dari mulutnya keluar. Sepertinya, sudah lama sekali aku tidak menatapnya begini; dagu yang sengaja kunaikkan, lalu mata yang seolah menusuknya. Namun, nyatanya hal itu tidak diacuhkan olehnya sebab kakinya semakin maju dan berdiri tepat di depanku.

Badannya merunduk sejenak guna melontarkan satu kalimat yang membuatku ingin menebas kepalanya sekarang juga. “Oh ... atau kau ingin cepat-cepat mengulanginya lagi, Hwang? Di atas ranjang, denganku, hm?”

Aku memejam erat, kedua tangan saling mengepal di bibir ranjang, kemudian salah satu telapak tanganku membentang—mendarat di pipi kirinya.

Napasku tercekat saat wajahnya kembali menghadapku ketika sebelumnya ia sempat beralih akibat tamparanku. Air muka datarnya membuatku sulit untuk mengatur debaran di jantungku.

Sejemang kami hanya terdiam sambil bertukar tatapan satu sama lain. Kemudian tanpa disadari pipiku basah setelah terlalu lama tenggelam dalam parasnya.

Mata, hidung, bibir, dan keningnya yang tak berubah sejauh ini—hanya saja pipinya yang terlihat lebih tirus dibandingkan tiga tahun yang lalu. Serta wajahnya yang memukulku untuk mengingat memori tentang masa lalu.

Aku menyesali keputusanku untuk mencari kerja, atau setidaknya melamar kerja di perusahaannya. Kalau saja adikku tidak meminta dibelikan buku paket, aku bisa saja bersantai hanya pada satu pekerjaan.

Aku tersentak, kemudian terhanyut ketika tangan besarnya mulai membelai pipiku—menghapus air mata yang bersarang di sana.

“Dasar cengeng. Begitu saja menangis,” katanya pelan, tapi menghangatkan pada waktu yang bersamaan. “Ayo, turun.”

Tangannya pindah ke pergelangan tanganku, menariknya sampai aku berdiri dan jauh dari letak ranjang. Tetapi ketika aku hendak mencapai pintu, kuhentikan langkahku. “Aku mau pulang, Jungkook,” pintaku yang hanya dijawab gelengan olehnya.

“Nanti, setelah makan malam.”

Kemudian mataku terbelalak lebar sekali. “Aku tertidur sampai malam?” Jungkook tak menghiraukan pekikanku, malah tetap menarikku hingga ke lantai bawah.

....

Keadaan flat selalu seperti ketika aku tidak berada di sana seharian.

Bungkus-bungkus makanan yang dibiarkan di konter dapur, gelas bekas yang tak disingkirkan di atas meja ruang tengah, dan tas ransel warna hitam yang tergeletak malang di samping rak sepatu.

Kuembuskan napas sebelum melepas jaket besar yang menyelimuti badanku sejak tadi. Lalu kuregangkan ototku—mulai membersihkan kekacauan yang sudah jelas diciptakan oleh adik sialan dan teman-teman sialannya juga.

Jerk Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang