14

17.2K 2.5K 536
                                    

Bukan hal mudah bekerja sebagai sekretaris pribadi—yah, meskipun gajinya pun tak kalah main-main.

Mengurus bayi besar yang sedang menenggak habis susu pisang itu sama seperti kau mengejar kucing liar. Sulit sekali.

“Hwang, topiku.” Belum juga menempelkan pantat pada kursi, Jungkook sudah berseru.

Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku lantas meraih topi hitam favoritnya dan berlari kecil ke tempatnya berdiri saat ini.

Kakiku rasanya sakit sekali. Setelah selesai rapat dengan beberapa rekan bisnisnya, Jungkook mendadak mengajakku membeli jas-jas kerja baru di salah satu mal mewah.

Tak hanya itu, dia menyuruhku untuk membawa semua paper bag yang berjumlah empat.

Tidak banyak memang, tapi tanganku seperti sudah putus dari pundakku.

Belum cukup sampai di sana, Jungkook mengajakku lagi untuk bermain boling setelah lima belas menit kami sampai di kantor.

Bukan apa-apa. Masalahnya, jadwalnya bermain boling adalah hari Kamis, sedangkan ini masih hari Rabu.

“Kau sewa tempat ini berapa menit?” tanyanya usai memakai topi.

“Tiga puluh menit, Pak.”

Dia hanya mengangguk, kemudian memintaku untuk menjauh darinya.

Aku duduk sendirian, mengamati punggung lebar berbalut jaket hitam tengah berdiri tegak sembari membawa bola.

Bicara soal ‘cemburu’ yang pernah ia katakan di apartemen dua minggu yang lalu, sekarang dia sudah tak secerewet dulu lagi.

Hanya saja, sifatnya yang suka memerintah semakin bertambah menyebalkan.

Mengetukkan ujung sepatuku di atas lantai, kurasakan bosan menyergap setelah Jungkook asyik bermain.

Aku hanya bisa mendengar suara bola yang menggelinding, kemudian disusul suara bola menabrak pin dengan keras.

Tolong jangan lupakan seruan Jungkook karena berhasil menggugurkan seluruh pin dengan sempurna.

Manakala aku mulai terhanyut dengan tampang seriusnya, ponsel Jungkook berdering sehingga membuatku mau tak mau harus mengambilnya dari laci kecil untuk pengunjung dan berlari ke arahnya.

“Ada yang menelepon, Pak.”

Jungkook menoleh setelah aku mengudarakan ponsel sejajar dengan dadanya.

“Dari siapa? Kalau bukan orang penting, kau saja yang angkat dan bilang aku sedang istirahat,” katanya tanpa memedulikan ponselnya yang terus mengeluarkan bunyi.

“Donghan, Pak.” Sejurus kemudian, dia lekas menggelindingkan bola sembarangan dan merebut ponselnya.

Aku mengerjap. Apa Donghan termasuk orang penting?

“Biar aku saja,” putusnya sebelum menempelkan ponsel di telinganya.

Aku mengekorinya yang berdiri mendekati kursi. Saat dia duduk sambil menyilangkan kakinya, aku tetap berdiri di samping tubuhnya.

“Kenapa? Kau suka? ... alasan. Bilang saja kalau kau memang suka. Iya, kan? ... tidak, aku bisa pulang sendiri.”

Setelah itu, dia menekan ikon merah pada layar dan menyerahkan ponselnya padaku.

Air mukanya berubah masam, kemudian melirikku sejenak.

“Sekarang, kau harus duduk di kursi belakang jika Donghan yang menyetir,” katanya tiba-tiba.

Aku memgernyitkan dahi. “Kenapa? Bukankah Bapak yang menyuruh saya duduk di depan?” tanyaku memastikan.

Memang benar, kan? Dia tidak pernah mau duduk satu kursi denganku.

Jerk Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang