17

17.2K 2.4K 314
                                    

Aku mendengus kasar di bangku sudut lapangan. Menemani Jungkook yang fokus memantulkan bola dan memasukkan ke dalam ring.

Sudah hampir setengah jam, tapi Jungkook tak kunjung usai bermain—sedangkan aku sudah seperti cacing kepanasan di pojok sini.

Bukan apa-apa. Percayalah, duduk berdiam diri tanpa memegang dan memainkan ponsel itu rasanya teramat hambar.

Dan sialnya, aku tidak tahu di mana Jungkook menyembunyikan ponselku.

Jas, kemeja, dan celana kerja yang berada di sampingku tidak ada ponsel di dalamnya. Lalu tas ransel yang mulanya diisi oleh jersey berwarna putih milik Jungkook itu juga tidak menyimpan ponselku.

Tapi, daripada memikirkan di mana posisi ponselku saat ini, aku lebih ingin memikirkan Donghan.

Apakah Donghan benar-benar mengira aku dan Jungkook adalah sepasang kekasih? Ah, maksudku, Jungkook memang menganggap kami sepasang kekasih, namun tidak bagiku.

Ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama.

Kalau Jungkook terus-menerus mengatakan pada Donghan bahwa aku adalah kekasihnya, kesempatanku untuk mendekati Donghan semakin sempit.

Lagi pula, aku tidak mengerti dengan pola pikir Jungkook.

Pernahkah dia menunjukkan sikap yang membuktikan bahwa dia memang serius menyukaiku? Atau jangan-jangan dia hanya menyukaiku tanpa rasa cinta?

Coba bantu aku untuk mengingat perilakunya selama ini padaku.

Saat kita kembali bertemu setelah sekian lama, dia menyambutku dengan omong kosong seperti keparat gila.

Kemudian, baru sehari bekerja di sana, aku sudah dikatai ‘bodoh’ dan menyusahkanku. Ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya ... yang aku tahu, dia hanya menunjukkan sisi bajingan dengan otak mesum dan cerewetnya.

“Hwang, kau sengaja tuli, ya?!” Aku tersentak, lantas mengerjap saat Jungkook menepuk keningku keras—meninggalkan rasa panas setelahnya.

Sengaja tuli, mulutmu!

Aku memberengut kesal. “Sakit, Jungkook!” pekikku tak terima.

Namun, bukannya iba atau paling tidak merasa bersalah, Jungkook malah menampakkan wajah datar dengan kedua tangan berkacak pinggang.

Aku mengulum bibir, mendapati jantungku yang secara tiba-tiba berdetak teramat kencang usai melihat seluruh kukitnya yang terekspos kini dibanjiri keringat.

“Cepat belikan susu pisang!” titahnya membuatku sadar. “Atau mau susumu yang aku minum?”

Kukernyitkan dahi sejenak untuk merepons. “Susuku? Aku tidak bawa susu, Jung,” jawabku merasa bersalah.

Dan kini, aku dikejutkan oleh keanehan lainnya—atau aku yang mungkin aneh.

Jungkook tertawa dan mengolokku bodoh. Akan tetapi, saat dia berusaha menjelaskan dengan otak kotornya, aku baru memahami bahwa yang dia minta adalah payudaraku.

“Minum saja susumu sendiri!” ujarku dongkol sambil beranjak dari kursi besi.

Kuulurkan tangan di depan hidungnya. “Uangnya,” kataku mengingatkan jika mendapatkan susu pisang harus menggunakan uang.

Jungkook menjauhkan tanganku. Mengusap tengkuknya sejenak, kemudian menyeka keringat yang membasahi dahi. “Aku tidak bawa uang tunai. Pakai uangmu dulu.”

“Kau pikir aku bawa?”

Dia mendengus sembari menatapku pasrah. Namun, beberapa detik kemudian tatapannya berubah dengan menampilkan senyum usil.

Jerk Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang