40

18.5K 2.3K 1.3K
                                    

Warning!

Hari ketiga bersama Tuan Jeon. Aku mendapat satu fakta kembali bahwa pria paruh baya itu adalah ayah yang hangat dan sangat penyayang.

Aku baru tahu nama ayah Jungkook adalah Jeon Yohan. Beliau selalu mencuri waktu untuk sekadar bertukar cerita denganku di dalam ruangan.

Pak Yohan pun sering melempar lelucon yang selalu membuatku tak sanggup menahan tawa.

Seperti saat ini. Kami duduk berhadapan dengan Pak Yohan yang bercerita tentang masa SMP Jungkook yang sudah diajari sang ayah mengendarai mobil.

Jungkook pernah menabrak pembatas jembatan dan hampir mengenai seorang wanita kantoran. Saat ia keluar dari mobil, wanita itu menarik dengan kuat rambut Jungkook hingga beberapa patah.

Aku ikut tertawa membayangkan ekspresi Jungkook yang kemungkinan takut dan kesal.

“Anak itu memang bengal sejak dulu,” kata sang ayah sembari menyulam senyum. “Tapi aku bangga karena dia tidak pernah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai pria sejati.”

Senyum kukembangkan. Aku jadi ikut bangga karena Jungkook bisa memberi kepercayaan atas sang ayah.

“Dia nakal, tapi selalu ingat kewajiban sebagai seorang anak dan pelajar. Itu kenapa aku tidak pernah melarangnya mengenal dunia luar yang gelap.”

“Saya tahu, Tuan Jeon,” kataku membenarkan. “Jungkook bahkan hanya diam saat adik saya memukulinya sampai sekarat waktu itu.”

Bukannya khawatir, Pak Yohan malah tertawa rendah. “Dia akan diam jika tahu letak kesalahannya, Nona. Aku selalu bilang ... jangan jadi pria pengecut yang tak mau mengakui kesalahan. Dari kecil aku mendidiknya dengan keras.”

Aku mengangguk paham sebagai tanggapan. “Tapi dia agak manja di kantor,” aduku dengan mulut mengerucut sebal.

Mulut Pak Yohan menganga. “Benarkah? Dia tidak begitu saat di rumah,” timpal ayah Jungkook.

Sudah kutebak. Dia pasti cuma mengerjaiku. Dasar pria anak satu!

Aku mengangguk lagi. “Jungkook juga selalu minta disiapkan susu putih hangat setiap pagi. Juga roti panggang selai kacang.”

Tuan Jeon terkekeh. Matanya menyipit dengan beberapa lipatan kulit di ekor mata. “Dia ingin mencoba mencari perhatian, ya? Dasar buaya nakal!”

Saat kami asyik mengobrol dan membahas soal Jungkook, seseorang mendadak datang dan mengagetkan kami.

“Ayah membicarakan Jungkook, ya?” Mataku terbelalak manakala Jungkook berdiri dengan pandangan setengah kesal.

Pak Yohan ikut terkejut, namun langsung tersenyum jail saat Jungkook berjalan mendekati kami.

“Bukan membicarakan, tapi membahas,” kata Pak Yohan mengoreksi.

Pria paruh baya itu berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekat pada sang anak dengan bantuanku—sebab cara jalan Tuan Jeon membuatku takut jika ia akan terjatuh.

Pak Yohan menarik telinga anaknya. “Kau tidak bilang akan pulang! Tahu begini Ayah tidak datang ke kantor,” ujarnya sebelum melepas tarikan pada telinga Jungkook.

Aku mengulum bibir. Mataku terlampau asyik melihat diskusi lucu ayah dan anak. Kalau ayah masih ada, apakah aku juga akan sedekat ini?

Aku menilik Pak Yohan yang menepuk bahu Jungkook dua kali. Kemudian pria paruh baya itu membetulkan  jas kerja anaknya sebelum mendongak untuk merapikan rambut Jungkook.

“Jadilah pemimpin yang disiplin dan rapi. Tanggung jawab saja tidak cukup,” kata Pak Yohan khas dengan suara berat dan seraknya.

Jungkook tersenyum, lekas mengecup kening ayahnya. “Jungkook sudah gagah seperti Ayah ‘kan sekarang?”

Jerk Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang