Desahan kasar keluar dari mulutku tatkala mendapati badan Taehyung yang semakin panas. Pun dia tidak berniat untuk merenggangkan lengan yang melingkari perutku.
“Kak ... rindu ibu,” racaunya diiringi isakan.
Aku lantas menunduk untuk melihat kondisinya. Matanya masih tertutup rapat kendati kepalanya terus bergerak tak nyaman sambil mengisak. Sedikit bersyukur karena dia hanya mengigau. Pasti ibu mendatanginya di alam mimpi.
Aku menepuk punggungnya di kala isakan itu kian mengeras. “Hei, Tae. Tenang, ada aku di sini. Ssst...” Seketika Taehyung berhenti menangis. Bibirnya mengatup sempurna, kepalanya ia tenggelamkan di dadaku, dan pelukannya semakin mengerat.
Aku tersenyum sekilas. Tanganku kini berpindah pada surai hitam penuh peluh, mengusapnya lembut seolah menyalurkan ketenangan untuknya.
Pertama kali dalam hidupku melakukan perhatian ekstra pada Taehyung. Dulu sekali, kami sering bertengkar sampai ibu dan ayah menggelengkan kepala dan teriak-teriak tidak jelas karena ulah kami.
Aku masih ingat saat umurku genap dua belas tahun dan Taehyung enam tahun, aku bahkan tidak sudi mengalah untuknya, berakhir dengan Taehyung yang mengadu dan merengek minta mainan baru yang sama seperti milikku.
Kami tidak pernah akur sejak dulu. Namun, semenjak ayah dan ibu betul-betul pergi meninggalkan kami (yang kupikir awalnya mereka lelah menghadapi sikap kekanakan kami), aku baru merasakan bagaimana besarnya tanggung jawab seorang kakak.
Aku berubah banyak untuk Taehyung. Jika dulu aku sering menarik rambutnya sampai ada beberapa helai yang tertinggal di jemariku, sekarang aku tidak lagi melakukannya. Yah, meskipun terkadang aku masih suka menarik telinganya, sih. Tapi sejujurnya aku sangat menyayangi Taehyung. Sangat.
Aku lagi-lagi tersenyum saat Taehyung membenarkan kepalanya—mencari posisi yang nyaman untuknya berlindung. Si bocah bengal ini ternyata bisa sakit juga.
Kupikir dia akan sekuat ayah yang tak pernah manja saat sedang sakit. Namun, nyatanya dia lebih manja dari anak tetangga sebelah berumur enam tahun yang menangis karena terjatuh saat berlari keluar elevator. Dasar cengeng!
Pelan-pelan kusingkirkan tangannya dari perutku, tetapi gagal karena Taehyung menggeliat dan menggeram. “Sebentar saja, Tae. Kau harus makan,” kataku lirih.
Taehyung menggeleng dalam tidur. Rupanya dia masih bisa mendengarkan ucapanku.
“Tidak mau ditinggal pergi.” Suara seraknya memukul hatiku telak.
Aku kalah, kembali meletakkan kepala di atas bantal dan mengusap surainya.
“Kakak menyayangimu.” Selalu kalimat itu yang aku ucapkan pada Taehyung sebab aku tak punya apa pun yang dapat kuberikan untuknya.
Aku benar-benar menyayangi adikku. Maka, dalam doaku tak pernah sekalipun melupakan permohonan agar aku bisa tetap hidup selamanya bersama Taehyung.
Hei, bocah nakal. Jangan sakiti dirimu sebelum aku mati—terkapar tanpa daya.
....
Sekarang pukul enam sore. Di luar hujan teramat deras—membuatku terjaga lebih cepat dan buru-buru menyingkirkan tangan Taehyung dengan paksa.
Berkutat dengan dapur tanpa mandi lebih dulu. Katakan aku jorok kali ini. Karena, ya, sejak pagi aku belum mandi dan menghapus riasan di wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerk Boss ✓
Fanfiction[COMPLETED] -Versi E-book bisa dibeli kapan saja- Hwang Yoora harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan sang adik di tengah kericuhan Kota Seoul setelah kepergian kedua orang tuanya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, sampai Tuhan kembali...