Ratusan panggilan masuk ke dalam ponselku. Tentu saja pelakunya adalah Jeon Jungkook.
Pesan-pesan yang dia kirimkan hanya aku baca, tapi tak berniat untuk membalas walau hanya sekadar ‘ya’.
Hari ini aku membolos lagi. Usai berdebat kecil dengan Taehyung yang masih marah padaku karena aku tetap membela Jungkook, si tengik itu izin keluar dan aku membiarkannya.
Bukan membela, sebenarnya. Aku menyalahkan Taehyung karena memukuli Jungkook separah kemarin. Dan Taehyung menyimpulkan bahwa aku tengah mencoba membela Jungkook.
Sekarang, aku hanya butuh sendiri tanpa presensi seorang pun. Aku juga tidak ingin mendengar suara siapa saja jika tujuannya untuk mendengar balasan dari mulutku.
Sakit yang aku rasakan, nyaris sama seperti aku mendengar kecelakaan mobil yang ayah dan ibu tumpangi. Bedanya di sini, ada perasaan kecewa yang mendekam di dalam ulu hati.
Aku membenci diriku yang dengan ceroboh termakan rayuan maut dari Jungkook. Pun aku membenci diriku karena kembali membuka pintu hati untuk pria itu.
Ya, meskipun aku tak patut menyalahkan diriku sendiri secara utuh sebab Jungkook tal berusaha menjelaskannya padaku sejak awal.
Seandainya dia beecerita atau menunjukkan gerak-gerik sebagai suami orang, pasti aku akan benar-benar menolaknya—sebesar apa pun dia memaksaku untuk menjadi kekasihnya.
Jujur. Aku masih belum mengerti tujuan Jungkook menjadikanku kekasih. Jika dia memang hanya mempermainkan perasaanku, lantas kenapa dia bersikap posesif dan cemburuan? Kenapa juga dia memberikan kartu ATM-nya untukku dan membelikan barang-barang mahal? Bukankah itu buang-buang uang jika ia tidak mencintaiku?
Atau benar kata Donghan jika Jungkook tidak mencintai Park Jihye?
Bagaimana bisa? Jelas-jelas Jungkook selalu memuji wanita itu saat aku masih SMA dulu. Tak tanggung-tanggung, Jungkook menyebutkan kelebihan Jihye dan membandingkannya denganku yang tak bisa apa-apa.
Mana mungkin Jungkook tidak mencintainya?
Aku sudah berulang kali untuk tidak bersikap egois dan siap menerima penjelasan dari Jungkook. Namun, hatiku nyatanya belum cukup sedia untuk mendengarkan setiap kata yang keluar lewat bibirnya.
Tidak sepenuhnya aku menyalahkan Jungkook, memang. Sungguh, aku bukan wanita yang dengan mudah menarik kesimpulan atas apa yang aku lihat atau dengar.
Akan tetapi, kali ini aku butuh ketenangan. Aku ingin berdamai pada diriku sendiri menggunakan cermin.
Sudah pantaskah aku menyandang sebagai kekasih Jungkook? Pastinya cermin berteriak tidak.
Kulangkahkan tungkaiku menuju jendela flat. Dari atas, aku memandang orang belalu-lalang dengan terburu-buru karena gerimis mendadak datang.
Spontan aku melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka dua siang. Itu artinya Taehyung sudah pergi enam jam lamanya.
Syukurlah. Setidaknya aku bisa tenang karena berada sendirian di flat. Aku juga tidak ingin melihat wajah datar Taehyung—membuatku ingin buang air besar terus-menerus.
Andai saja ego tidak sedang merajai diriku, kupastikan saat ini aku sudah mengangkat panggilan Jungkook dan mengatakan bahwa aku merindukannya.
Katai saja aku bodoh. Kali ini aku tidak mau lagi menyangkal soal Jungkook selalu memanggilku bodoh. Kenyataannya aku memang seperti itu.
Seharusnya hari ini jadwal Jungkook bermain boling. Aku jadi berpikir. Apakah Jungkook sudah sarapan? Apa dia memasang dasinya dengan benar? Lalu bagaimana dengan rapatnya hari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerk Boss ✓
Fanfiction[COMPLETED] -Versi E-book bisa dibeli kapan saja- Hwang Yoora harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan sang adik di tengah kericuhan Kota Seoul setelah kepergian kedua orang tuanya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, sampai Tuhan kembali...