03

22.4K 2.8K 290
                                    

Aku berakhir di sini; di lantai dansa bersama pria-pria hidung belang yang ikut menari mengelilingiku.

“Alexa, satu jam denganku, mau?” Salah satu pria dengan tato di lengannya menatapku.

Lantas kugelengkan kepala sambil terus berdansa mengikuti alunan musik. “Aku di sini bukan untuk melayanimu, Junghyun-ah.”

Junghyun seketika menatapku tajam, berjalan mendekat ke tempatku berdiri, lalu merengkuh pinggangku dengan lengannya. “Aku akan membayarmu lebih, Alexa,” katanya menyebarkan bau alkohol yang menyengat. “Membawamu ke surga ... bersamaku.”

Ini tidak benar. Sebelum Junghyun bertindak lebih jauh, aku lekas mendorong tubuhnya hingga menciptakan jarak beberapa meter.

Aku cepat-cepat melangkah menjauhi lantai dansa yang menyesakkan, bergabung dengan beberapa bartender yang sedang mengawasi pelanggan.

“Yoo, ada apa dengan wajahmu?”

Aku duduk di kursi panjang dekat konter, kemudian menopang dagu dengan tangan kananku. “Bajingan itu memintaku untuk memuaskannya. Sialan! Dia pikir aku ini jalang yang siap mengangkang dengan mudah?” Mataku melirik pria yang terkikik di seberangku. “Kenapa menertawakanku, sih, Jimin?!”

Jimin menutup mulutnya, “Kan, sudah kubilang padamu ... jangan sekali-sekali kau menempatkan diri di sana,” ujar Jimin sambil menunjuk lantai dansa yang baru saja kutinggalkan. “Meskipun posisimu adalah bar waiter, tapi sangat berbahaya jika kau ke sana sendirian.” Jimin menuangkan vodka ke dalam gelas bening sebelum menyerahkannya padaku.

“Biasanya juga tidak seperti ini, kok,” kataku membela diri.

Selama dua tahun bekerja di kelab, memang ada beberapa pria yang sengaja menggodaku, tapi tidak ada dari mereka yang berani menyentuhku intim. Barangkali hal seperti ini yang Taehyung khawatirkan jika aku mencari uang di dunia malam.

“Yoora-ya ...” Lamunanku buyar saat suara Jimin kembali terdengar di tengah bisingnya kelab. Jimin menyuruhku untuk menoleh ke belakang seraya berkata, “Ada tamu baru yang duduk di meja pojok. Dia minta Iceland, Tequila, dan Everclear.

Mulutku menganga, “Dia ... sendirian? Pria yang memakai baju hitam di sana?” Jariku otomatis menunjuk ke arah pria yang sedang kubicarakan.

Jimin mengangguk, “Tepat sekali. Cepat!”

“Bukan, bukan. Maksudku ... serius dia yang memesan? Tequila dan Everclear adalah minuman dengan kadar alkohol paling tinggi, Jim.”

Jimin tidak menjawab—hanya diam sambil meninggalkanku sebentar. Seusai menunggu Jimin menyiapkan pesanan beserta es batu, aku lantas meraih nampan dan berjalan mendekati pria di sudut ruangan. Beberapa wanita berpakaian minim mulai menjadikanku pusat perhatian mereka dalam sesaat sebelum aku berhasil mencapai meja.

“Permisi, Tuan. Apakah benar kau yang memesan ini?” Aku merunduk, meletakkan nampan ke atas meja kaca dan membebaskan tiga macam minuman beralkohol itu ke sana.

Sejemang mataku menilai bagaimana caranya berpakaian. Kaki yang dibalut sepatu mahal serta tubuh yang diselimuti dengan berbagai merek ternama membuatku melongo. Pantas saja dia memesan minuman mahal ini.

Semenit tidak ada respons, aku mencoba untuk memanggilnya lagi. Kini sedikit lebih keras sebab musiknya semakin kencang terdengar.

Tidak ada respons lagi. Apakah dia ini tuli? Atau memang sengaja tidak merespons?

Saat aku hendak menepuk bahu tegak itu, aku tersentak karena tiba-tiba kepalanya menengadah. Topi hitam yang tadinya menutupi sebagian wajahnya, kini telah hilang sebab ia lepas dengan mudahnya.

Jerk Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang