Sinar mentari menyongsong pagi hari ini. Semilir angin nyatanya tak dapat membantu peluh yang mengembun di sekitar dahi.
Hari ini terlalu panas mengingat jarum pendek pada arloji bahkan masih enggan menetap pada angka delapan.
Orang-orang berjalan dengan cepat tanpa memedulikan terik yang menyorot kian intens, sedangkan aku tak dapat lagi menghitung berapa banyak tisu yang kuhabiskan untuk mengusap wajah.
Panas sekali. Ditambah bus yang tak kunjung datang membuatku terlalu lama terpapar sinar matahari pagi yang—yah, meskipun jauh lebih baik untuk kulitku.
Kemeja yang kukenakan sama sekali tak membantu sebab bahannya yang tidak mampu menyerap keringat.
Lima belas menit telah berlalu, tapi tanda-tanda bus akan datang tak kunjung keluar.
Kuhentakkan kaki berbalut sepatu hak tinggi ke atas aspal. Aku luar biasa panik, pasalnya kurang dari sepuluh menit adalah jam di mana Jungkook sudah duduk di kursi panasnya, sedangkan aku diharuskan untuk duduk manis di samping mejanya sebelum dia sampai.
Aku kembali mengusap kening dengan tisu, merasakan ketakutan yang bercokol dalam benak membuat peluhku berlomba-lomba membasahi sekujur tubuhku.
Kalau saja bosnya bukan Jungkook, barangkali aku masih bisa bersantai ria di rumah—atau setidaknya terlihat baik-baik saja saat menunggu bus begini.
Aku pasrah, berangsur menjauhi halte dan memutuskan untuk berjalan kaki mengingat uangku tak cukup banyak untuk memesan taksi.
Namun saat kakiku benar-benar hendak pergi meninggalkan keramaian, suara klakson mobil mengagetkanku dengan kaca terbuka setelahnya.
“Kau bisa berangkat denganku, Nona.” Suara itu seketika membangunkan jantungku untuk berdetak lebih kencang.
Aku berdeham, menutupi kegugupan yang kini hinggap entah sejak kapan. “Donghan—”
“Kau akan terlambat jika terus berdiri di sana. Cepat masuk karena Pak Jungkook akan datang dengan mobilnya sebentar lagi,” potongnya.
Aku mengerjap sebelum berakhir di sebelah Donghan. “Terima kasih,” ucapku selagi kedua tangan berusaha memasang seat belt.
Donghan tersenyum saat ekor mataku menangkapnya. Manis sekali.
Untuk Park Jimin; sepertinya senyummu tak lebih indah dari Donghan.
....
Aku memijat betis yang terasa kebas.
Setelah pantatku berhasil mencapai kursi empuk di samping meja Jungkook, aku mendesah lega. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa—ya Tuhan kakiku rasanya sakit sekali.
Berlari dari lantai satu ke lantai yang lain dengan menggunakan tangga sebab elevator terlalu lama mendarat di lantai dasar.
Pun untungnya ketika tanganku membuka pintu kaca bening itu, presensi Jungkook belum terlihat oleh mataku.
“Astaga, kapan penderitaanku ini berakhir?”
Kukeluarkan cermin kecil dari dalam tasku. Melihat riasanku yang sedikit memudar serta rambut panjangku yang berantakan, membuatku refleks tersenyum geli.
Seusai membenahi riasan, pintu ruangan terbuka dan menampilkan orang yang sebetulnya tidak ingin kutemui hari ini.
Bukannya mengucap salam, dia malah berdiri di seberang mejaku dengan kedua lengan melipat di depan dada.
“Kenapa tidak menyiapkan sarapan di mejaku?”
Wajahnya ingin sekali kuremas dan kuhidangkan untuk upacara memanggil roh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerk Boss ✓
Fanfic[COMPLETED] -Versi E-book bisa dibeli kapan saja- Hwang Yoora harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan sang adik di tengah kericuhan Kota Seoul setelah kepergian kedua orang tuanya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, sampai Tuhan kembali...