02

26K 2.9K 206
                                    

Sekretaris lama Jungkook telah banyak membantuku setengah hari ini. Namanya Park Sohyung. Wanita itu mengajariku apa saja yang Jungkook butuhkan sampai bagaimana mengurus Jungkook selama di kantor.

Bukan. Bukan dimandikan lalu diberi bedak dan popok. Maksudnya, mengurus dalam hal rapat atau mengingatkan jam makannya.

Tepat pukul lima sore aku bisa kembali duduk di kursi empuk yang ukurannya tak lebih besar dari kursi kerja milik Jungkook. Mataku memejam sesaat, membuang kelelahan yang bersarang di sekujur badanku karena berkeliling kantor dengan Sohyung dan mengikuti Jungkook rapat selama dua jam lebih.

Namun, saat tubuhku mulai nyaman pada posisinya, pintu ruangan terbuka dan menampilkan presensi pria yang baru saja memarahiku. “Ya, kau bekerja di sini untuk cari uang atau untuk tidur?!” Aku terlonjak, buru-buru berdiri dari kursiku dan menunduk. “Sudah menghancurkan rapatku, sekarang mau bersantai-santai. Kau pikir kau ini bos, huh?”

Aku menelan saliva susah payah. Seruannya seakan menghantamku telak.

Aku berusaha untuk kembali mendongak, menatapnya yang kini berkacak pinggang sambil tersenyum pongah. “Maaf, Pak Jungkook. Saya hanya—”

“Hanya apa?!”

Astaga, dia bahkan tidak menghilangkan kebiasaannya yang suka memotong omongan orang.

Aku merutuki mulutku yang tidak dapat terbuka menjawab pertanyaan Jungkook. Sialan, punya bos sepertinya bisa membuatku mati muda.

Kudengar helaan napas lewat mulutnya. “Sekarang ikut aku ke toko ikan,” katanya.

Mengernyitkan kening, aku lantas menatapnya penuh tanya. “Ke toko ikan, Pak? Bapak ingin bekerja sama dengan penjual ikan?”

“Bodoh.” Satu kata, tapi menyakitkan. Lagi pula, siapa yang bodoh di sini, sih? Aku, kan, hanya bertanya.

Jungkook keluar ruangan lebih dulu, disusul kakiku dengan heels pendek yang melangkah cepat—mengimbangi langkah lebarnya.

Si bos keparat itu bahkan tidak menjawab pertanyaan yang menggantung di kepalaku sejak tadi. Tidak pengertian dan terlihat tak acuh ketika aku berdesis karena kakiku yang lecet akibat terlalu lama berjalan menggunakan heels yang sebetulnya sedikit sempit.

Sesampainya di luar kantor, Jungkook masuk lebih dulu sebelum aku yang mengambil duduk di sebelahnya. Baru satu sekon kusandarkan punggungku, Jungkook kembali bersuara, sontak membuatku menoleh padanya.

“Siapa suruh kau duduk di sini? Pindah ke depan.”

Aku mengernyit sesaat, lantas keluar dari mobil sambil menggerutu kesal setelah pintunya kututup kasar. Brengsek sekali dia, menyalurkan balas dendamnya lewat pekerjaan. Ah, bukan. Lagi pula, dia yang bersalah selama ini. Menghancurkan hidupku yang memang tidak berwarna sejak dulu, sebetulnya.

Seusai berpindah tempat ke kursi depan, aku sempat menelan saliva karena melihat pengemudi di sampingku.

“Kau ... sepertinya aku pernah melihatmu,” kataku yang disambut senyuman dari pria itu.

Berpikir sejenak, aku kemudian menjentikkan jari. “Ah, kau pria yang kemarin pagi menabrakku di depan halte, kan? Astaga, dunia sempit sekali. Kau bekerja di sini juga?”

Aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengutarakan rasa bahagiaku sebab pria yang tidak kuketahui namanya itu terlampau tampan untuk tidak diingat parasnya.

Kemarin, beberapa detik setelah aku menuruni bus, pria di sampingku ini menabrakku hingga aku terjatuh (untungnya tidak berdarah, sih). Dia juga memberiku sebotol susu cokelat sebagai permintaan maafnya.

Jerk Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang