Hening menjadi suasana satu-satunya saat aku tengah mengobati luka di sudut bibir Jungkook yang kian merobek besar.
Kuduga ini adalah luka baru yang ia dapat.
Setelah dia seenaknya memelukku di dapur, aku segera menariknya ke ruang tengah karena terkesiap oleh darah kering yang menghiasi bibirnya.
"Taehyung memukulmu lagi? kau bertemu dengan adikku?" Rentetan pertanyaan aku keluarkan karena penasaran.
Jungkook menggeleng. Maniknya tak kunjung lepas dari diriku yang sejak tadi fokus mengobati lukanya.
Ia bahkan tidak meringis kesakitan sama sekali saat aku obati.
Harusnya memang begitu, karena luka di hatiku jauh lebih sakit daripada luka di sudut bibirnya.
"Kau bilang sakit, tapi baik-baik saja," katanya mendadak saat aku menyelesaikan kegiatanku.
Kuembuskan napas seraya membersihkan kapas serta obat merah di atas meja kaca. "Aku sakit hati," jawabku sambil berlalu sejenak.
Aku kembali lagi dan duduk di sampingnya. "Aku belum siap bertemu denganmu. Dan aku belum siap mendengar semua penjelasanmu," kataku. Kuambil napas banyak-banyak. "Jika aku sudah siap, kau bisa menjelaskan semuanya. Kuharap kau tidak menambah-nambahi atau berbohong padaku."
Aku tersenyum ke arahnya yang menatapku dengan diam. "Kau bisa pulang sekarang," aku melirik jam dinding, "karena Taehyung akan kembali seperempat jam lagi. Aku tidak ingin melihat aksi baku hantam."
Jungkook mengangguk. Kentara sekali bahwa ia terpaksa melakukannya.
Pria itu beranjak dari sofa, kemudian memakai jasnya yang sempat ditanggalkan. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana kain, lalu berjalan mendahuluiku menuju pintu utama.
"Temanmu yang memukulku," katanya tina-tiba.
Satu alisku mengedik. "Kupikir aku tidak punya teman yang pandai bela diri," jawabku sedikit memberi lelucon.
"Jimin-mu." Rahangku merosot. "Saat aku keluar dari kantor dan hendak ke sini, ia menyerangku mendadak."
"Maaf," lirihku sambil menunduk.
Dia mendengus, kemudian kakinya maju untuk menghapus jarak. "Aku yang seharusnya bilang begitu," ujarnya. "Maafkan aku." Setelah mengecup lama keningku, Jungkook lekas keluar dari flatku.
Sebenarnya aku hanya menggunakan nama Taehyung untuk beralasan agar Jungkook cepat-cepat pergi.
Aku masih tidak mau bertemu dengannya meskipun tindakanku saat mabuk sangat amat memalukan untuk diingat.
Lima menit melamun di tempat, aku buru-buru mengambil ponsel dan menghubungi Jimin.
Tentu saja aku marah karena dia memukul Jungkook. Apa maksudnya?
"Ha—"
"Bajingan! Kenapa kau memukul kekasihku?!" potongku kesal. Aku duduk di sofa ruang tengah dan menyugar surai yang mulai memanjang.
"Dia menyakitimu, dan aku tidak terima," jawabnya tenang. "Kau sendiri yang bilang bahwa kau juga berpacaran dengan suami orang. Itu artinya ... kau simpanannya, begitu, 'kan?"
"Kapan aku mengatakanny, Sialan!"
Jimin mendengus. "Kau mabuk, Macan Kumbang."
"Macan kumbang lagi!" Aku protes padanya. Pastinya, ayah dan ibu susah-susah memberiku nama yang bagus, tapi Jimin menggantinya dengan seenaknya.
"Mengaca! Kau memanggilku bajingan, brengsek, sialan, kep—"
"Itu 'kan memang gambaran dari dirimu," jawabku memotong ucapannya lagi. Di sela Jimin yang menghela napas dan menggerutu kesal, aku berbicara lagi. "Jangan ikut campur, Jim. Kau tidak perlu memukulnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerk Boss ✓
Fanfiction[COMPLETED] -Versi E-book bisa dibeli kapan saja- Hwang Yoora harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan sang adik di tengah kericuhan Kota Seoul setelah kepergian kedua orang tuanya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, sampai Tuhan kembali...