46- datangnya ayah

2.1K 78 5
                                    

Ia tersadar saat mendengar sayup-sayup suara pintu apartemennya dibuka, siapa lagi yang datang? Ia hendak bangkit, namun kepalanya terasa berat untuk ia bangun. Akhirnya ia memilih untuk tetap berbaring, seraya mendengarkan langkah kaki yang terus mendekat. Dadanya berdegup kencang saat langkah kaki itu semakin dekat karena merasa takut, ia terus merapatkan tubuhnya kearah senderan sofa. Ia tahu ini konyol, sofa tidaklah mungkin bisa melindungi dirinya dari penjahat. Ia memejamkan matanya saat langkah kaki itu berhenti.

"Kamu sudah bangun," kata orang itu.

Deg, suara itu. Neisya sontak membuka matanya dengan refleks, ia hanya diam dengan mata yang membulat sempurna. Pria dihadapannya itu tersenyum kearahnya, sehingga membuat ia mengerjapkan matanya tak percaya. Ia meyakini ini adalah sebuah mimpi, namun sepersekian detik berikutnya keyakinannya lenyap saat tangan kokoh itu mengusap rambutnya. Neisya masih diam dengan segala keterkejutannya, ia berharap ini bukanlah sebuah mimpi. Tangan kokoh itu terus mengusap rambutnya sampai matanya terasa memanas. Air mata itu perlahan mulai menetes satu persatu, hal itulah yang membuat pria yang sedang mengusap kepalanya berhenti seketika.

Kemudian pria itu berjongkok untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah neisya, kali ini tangan kokoh itu beralih mengusap pipinya.

"Pa-pah.." neisya terbata mengatakan itu, entah kapan terakhir kali ia memanggil pria itu dengan sebutan papah, rasanya ia sudah lupa. Ia memanggilnya dengan Suara yang terdengar serak.

Fandi kembali tersenyum, "kamu sudah besar.."

Bukan, bukan ini yang ingin ia dengar dari seorang ayah yang telah berjarak sebelumnya.
"Pahh.." lirih neisya sekali lagi, matanya terasa memanas.

Fandi terus memandangi putri kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa. Bagi seorang ayah putrinya akan tetap menjadi seorang putri kecilnya, tidak masalah dengan usia yang terus bertambah. "Dulu kamu masih sangat kecil ketika minta papah buat gendong kamu, saat kamu terserang demam." Fandi beralih mengusap kepala neisya, "putri kecil papah tidak akan tertidur, jika papah belum pulang bekerja. Dia akan terus merengek kepada mamahnya jika papah tak kunjung pulang. Hingga saat papah pulang, kamu akan langsung berlari menghampiri papah sambil menangis dan minta di gendong."

Fandi tersenyum kearah neisya, hatinya terasa tercabik-cabik saat melihat neisya menangis. Kemudian ia menengadahkan wajahnya  agar air matanya tidak ikut tumpah. Ia harus sadar, disini ia seorang ayah yang harus menguatkan putrinya. Tidak seharusnya ia bersikap lemah seperti ini. Ia seorang ayah, ia yang harus menguatkan saat neisya sedang lemah.

Fandi semakin menyalahkan dirinya saat neisya meneteskan air mata tanpa suara. Ia tahu ini salahnya, namun tidak banyak yang bisa ia perbuat. Ini pertama kalinya ia menatap neisya dengan nanar, setelah perang dingin selama bertahun-tahun yang lalu yang membuat dirinya menelantarkan neisya.

Neisya kembali terisak, kali ini ia menangis dalam pelukan seorang ayah. Air matanya tumpah, seolah mencurahkan perasaannya yang sedang tidak membaik. Semakin dalam usapan di rambutnya, semakin deras juga air matanya mengalir.

"Kamu demam.."

"Pahh.."

"Apa semua ini terasa sulit?"

Neisya mengangguk dalam tangisnya.
"Neisya cape kaya gini.."

Fandi melepaskan pelukan neisya, ia lalu menghapus air mata neisya "Papah tau.. papah egois, kamu menderita karena semua ini. Kamu banyak menangis karena papah."
Hal yang tidak neisya ketahui, Fandi juga sama menderitanya seperti neisya. Setiap kali ia melihat neisya menangis, ia juga sama sakitnya. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, ia berada pada posisi yang serba salah.

"Sudah jangan nangis lagi.." lanjutnya.

"Neisya sayang sama papah.." ucap neisya seraya mempererat pelukannya.

GuttedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang