1 : First Meeting

2.1K 124 11
                                    

Jiyeon P

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jiyeon P.O.V

Ketika aku berusia sembilan tahun, aku sering berdoa kepada Tuhan agar aku mendapat jodoh yang baik dan tampan. Aku berharap nasib percintaanku saat dewasa nanti seperti Sun-Ah-eonnie. Sun-Ah-eonnie menikah dengan seorang namja blasteran Korea-Jerman. Setelah menikah, Sun-Ah-eonnie bersama suaminya pindah ke Jerman dan menetap di sana. Setahun dua kali Sun-Ah-eonnie dan suaminya mengunjungi kami. Saat ini, kami—Appa dan aku—tinggal di Busan. Dulu—saat Eomma masih ada dan Sun-Ah-eonnie belum menikah—kami berempat tinggal di Seoul. Tetapi setelah meninggalnya Eomma, Appa memutuskan untuk meninggalkan Seoul dan membeli rumah yang tidak terlalu besar untuk kami tinggal di Busan. Dua tahun setelah itu Sun-Ah-eonnie menikah dan meninggalkan aku dan Appa.

Hari ini adalah hari Senin, tanggal 14 Februari, aku genap berusia 22 tahun. Aku hanya merayakannya berdua dengan Appa bersama seloyang kue tart yang dibeli Appa disebuah toko roti. Sun-Ah-eonnie tidak bisa hadir dan hanya memberiku ucapan lewat telepon. Agak sedih juga mengetahui bahwa ini adalah ulang tahunku yang pertama tanpa kehadiran Sun-Ah-eonnie. Perasaanku sekarang ini persis saat aku merayakan ulang tahunku enam tahun yang lalu tanpa kehadiran Eomma. Eomma yang sudah meninggal karena sakit leukimia. Walaupun rasa sedihku saat ini tidak sesedih waktu enam tahun yang lalu, aku tetap mengharapkan kehadiran Sun-Ah-eonnie agar suasana di rumah menjadi lebih ramai.

Hari ini panas sekali. Appa yang sedang sibuk di ruang kerjanya tiba-tiba saja memanggilku. Aku mengetuk pintu perlahan dan mengintip ke dalam. Appa mengayunkan tangan kanannya untuk memberi kode agar aku masuk ke dalam.

"Duduk, nak." Mata Appa tetap fokus pada lembaran dokumen yang berserakan di meja kerjanya.

"Ada apa? Tumben sekali Appa memanggilku dan menyuruhku masuk disaat Appa sedang sibuk." Mataku bergerilya ke seluruh ruangan. Aku jarang masuk ke ruang kerja Appa. Disamping itu Appa tidak suka ruang kerjanya dimasuki oleh orang lain, biarpun anaknya sendiri. Lagi pula, aku sama sekali tidak berminat untuk masuk ke dalamnya. Kalau kau masuk ke dalam ruang kerja Appa, kau hanya menemukan sebuah ruangan yang paling membosankan yang pernah kau lihat. Berhubung Appa seorang sastrawan, ruang kerjanya hanya berisi dua rak buku tinggi yang dipenuhi buku-buku tebal yang sudah usang, satu meja kecil dengan teko jaman dulu diatasnya dan meja persegi panjang yang agak besar untuk Appa bekerja. Dia penulis buku yang hebat. Tak jarang buku karangannya menjadi best seller dalam waktu cepat.

Appa berdeham lalu melepas kaca matanya. Dokumen-dokumen yang berserakan diatas mejanya dirapikan dengan gerakan cepat. Setelah membetulkan posisi bangkunya yang menghadap kearahku, Appa berdeham sekali lagi.

"Apa kamu sudah menghabiskan kue tartnya?" tanya Appa berbasa-basi.

Aku menggeleng. "Terlalu banyak dan tidak akan muat di dalam perutku." Appa tersenyum sesaat lalu wajahnya kembali serius.

Appa menarik laci meja kerjanya dan mengambil sebuah album yang sama usangnya dengan buku-buku koleksiannya.

"Tahu apa ini?"

Saranghaeyo Jiyeon-ah (Reupload | Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang