Bermula dari sini. Malam yang selalu menyanyat direlung hati yang dalam. Menepis dingin dengan kelembutan rasa. Melangkah dan berjalan di sisi yang sepi. Aku tetap ada disini, sama ketika awal kita berjumpa.
Aku mulai terbiasa dengan malam-malam ini. Berselimut rindu dan gelapnya warna. Ingatkah ketika kita menapaki terjal? Saling menguatkan serta menggenggam untuk meredam ego.
Kita sering duduk bersisian, memandang deburan ombak dari sisi pelabuhan. Tempat pelarian untuk memejamkan mata dan melupakan penat. Bercerita tentang kenapa alasan daun yang rontok serta menertawakan hal konyol bersama.
Tempat ini pula aku tanganku mampu untuk menyapu pipi lembutmu. Berusaha menghapus sedihmu dikala kau gundah. Sesekali aku nakal menjarah pipi untuk mencubitmu. Bercerita bagaimana indahmu, yang cukup ku pandang dan kuamati dengan seksama.
Mungkin kita bukan Romeo dan Juliet. Bahkan aku bukan Dilan yang mampu memberikanmu sejuta kejutan dan suatu hal yang tak terduga. Aku ya aku, mencintaimu dengan kesederhanaanku. Mengitari jalan serta menikmati malam. Menembus gelap dan redupnya lampu pertokoan. Sesekali menoleh kebelakang dalam boncengan belakang, mamastikan kau baik-baik saja.
Sekarang aku berusaha kuat. Berada jauh dan menyepi. Mengingat bahwa cinta tak selalu bersama. Serta menimbang cinta tak selalu berdua. Namun kita memutuskan untuk tetap saling menjaga. Meskipun raga berjauhan tapi hati tetap satu. Sejauh apa komitmennya, sejauh kita berpikir untuk tidak mencari yang lain dan bertahan disatu sosok.
Bagiku, cinta bukan berapa lama kita bersama dan kemana kita harus pergi. Namun bagaimana kita bisa bertahan demi satu sosok yang kita miliki.
......
Dipenghujung tahun pelajaran telah usai. Upacara wisuda menjadi agenda tutup tahun bagiku dan teman-teman angkatanku. Selama tiga tahun aku sekolah disini, menutup semuanya seperti buka besar tebal dan kini ingin segera kututup dan simpan saja.Mengingatnya begitu indah. Bukan, salah, tidak semuanya indah. Cukup ku simpan dan biarkan berdebu untuk waktu yang akan datang. Tak perlu ada yang dirisaukan.
Sehabis upacara wisuda selesai semua bersuka cita. Merayakan dengan orang tua mereka, ada yang sedih, berpelukan, dan berfoto ria dengan teman, adik kelas, pacar, hingga mantan. Bagiku hari ini tidak lebih dari selebrasi kemenangan tanpa adanya tropi, hampa.
"Bu, ayo pulang acaranya sudah selesai," ucapku lirih.
Ia masih asik menikmati pemandangan yang penuh haru baginya. Bagiku ini hanya pemandangan yang tak berarti."Sek to le, jangan buru-buru inikan wisudamu nggak sedih to pisah sama temen-temen mu?," balas ibu sambil sedikit menahan air matanya yang masih tertahan.
Anaknya yang wisuda Ibu yang terharu. Realitas macam apa ini, harus memiliki ibu yang baperan seperti ibuku. Tak jarang ibu suka nangis gara-gara liat sinetron-sinetron favoritnya. Bahkan harus nangis saat Jery akan di bunuh oleh Tom salah satu kartun yang biasa aku tonton. "Itu kartun Bu, nggak beneran," adalah ungkapan ku untuk menerangkan agar Ibu tidak baper akan hal semacam itu. Namun Ibu adalah penguatku yang selalu menguatkan aku selama ini.
"Nggak Bu, aku udah pamitan sama temen-temen sejak kemarin,"
"Bener kamu nggak apa-apa?," tanya Ibu dengan tatapan anehnya.
"Aku nggak ada apa-apa, ayo pulang sekarang bu,"
"Yaudah ayo pulang, kasian Mbak Yu mu sendirian dirumah, Ibu tadi masak ayam lodho lo,". Meskipun baper Ibu adalah koki terhebat sepanjang masa.
Aku lega aku segera meninggalkan halaman sekolahku yang hari ini disulap menjadi gedung wisuda sementara. Biasanya aku sering main disini dengan Bowo, Anang, Huda, sahabat karibku. Duduk dipinggir lapangan untuk menggodai adik kelas lewat.
.....
"Kak,"
Suara dari belakang ini seketika menghentikan langkahku. Nada-nada yang tak asing ditelingaku. Sebenarnya aku hanya ingin pura-pura tidak mendengar. Namun aku terlalu naif untuk itu. Aku berharap dia bukan yang aku harapkan, aku menoleh kebelakang. satu, dua, tiga."Selamat kak," ia mengulurkan tangan kearah ku. Sedikit menunduk sesekali menatapku dengan tatapan ragu-ragu.
Sudah kuduga. "Iya makasih Zahra," aku membalas uluran tangannya.
"Wahhh siapa adek cantik ini Nak," ucap Ibu."Zahra bu, dia masih adik kelasku," terang ku kepada Ibu. Sebelum ini berlarut aku menyuruh ibu untuk pergi kearah parkiran. Ibu akan melakukan obrolan dengan Zahra yang mukim akan lama dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Aku tidak ingin berlama-lama dalam kondisi ini. Ketika Ibu sudah tak terlihat aku ingin segera akhiri pertemuan ini dengan secepat mungkin.
"Kak, maaf," ucap Zahra masih dalam keadaan sedikit menunduk. Seketika aku hanya bisa diam, dan pertemuan ini sempat sunyi dalam sekian detik.
"Tak ada yang perlu untuk disesali, selamat semoga kamu bahagia-," ucapku dengan Zahra. Setelah apa yang telah kami alami, aku merasa sangat marah. Namun aku menahan. Aku bingung harus marah, sedih, atau senang. Aku tak mengerti ungkapan maaf darinya dimaksud untuk apa. Penyesalan kah? Namun kenapa aku tidak merasakan suatu apa-apa lagi.
Cukup kisah ini ingin kututup saja
.....
Pohon beringin. Banyak orang yang bilang pohon ini angker, bahkan banyak yang mengklaim telah melihat salah satu penampakan dari salah satu penghuni dari pohon beringin di sekolahku. Kata Bowo pohon ini pohon yang sudah hidup sejak zaman Majapahit. Sudah tua dan tentu sudah ada sebelum sekolah kami dibangun.
Namanya saja Bowo teman satu kelasku. Teman sesama Osis juga, teman nongkrong, temen godain Milah anak kelas XI IPA 2 yang cantik nya seantero jagad, katanya si Bowo dia jadi bunga desa, Masyaallah menggoda. Alasan untuk menggoda Milah sebenarnya tak ada dibenaku ini rencana Bowo sendiri. Milah itu anak Karate paling seneng Bowo kalau liat Milah pas di lapangan basket sambil pemanasan latihan karate.
"Ehh itu lihat tuh, gila bener tuh susunya," Bowo sambil memandang ke kumpulan anak Karate.
Begitulah Bowo sedikit mesum agak ngeres.
.......
"Aku harus pulang Zahra,"
"Aku hanya ingin minta maaf kak," Zahra yang tadi masih menunduk perlahan ia tatap aku. Pelupuk matanya basah, menahan sesuatu hal yang tidak ingin dijatuhkan. Menahan apa? Sedih atau sesal?
"Aku sudah memaafkanmu sejak dulu, cukup kan? Aku akan pulang,"
Cukup saja sampai disini. Kisah ini biarkan jadi buku yang kelak akan berdebu. Tak perlu untuk diingat, Zahra.
Mengapa? Bukan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Definisi Rindu
Teen Fiction| Romance | Fiksi "Bagiku rindu adalah hak setiap, termasuk rindu denganmu" ..... Malam yang selalu menyanyat direlung hati yang dalam. Menepis dingin dengan kelembutan rasa. Melangkah dan berjalan di sisi yang sepi. Aku tetap ada disini, sama keti...