Meja redaksi memberikan ruang kebebasan bagiku. Tumpukan arsip-arsip majalah dan buletin. Satu almari besar yang menyimpan banyak buku yang bebas aku baca. Arsip surat, kertas-kertas lama, bahkan komputer rusak yang rencananya di loakan, printer, banner bekas kegiatan, dan bahkan stempel yang sudah usang perlu kami ganti. Semua ada diruang yang lebarnya tak lebih dari 4 meter persegi ini.
Jajaran komputer beserta printer terpasang serasi dengan kamera DSLR sebagai andalan kami. Berbagai macam liputan baik didalam kampus dan diluar kampus kami mengandalkan Voci. Voci adalah kamera DSLR satu-satunya yang kami miliki. Meski model Voci sudah ketinggalan zaman tapi jepretannya masih menjadi andalan kami.
Pernah memotret banyak orang penting. Misal Mahfud MD pakar hukum tata negara, Jimli Asidiq mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama adalah orang -orang besar yang telah di jepret menggunakan Voci. Pantaslah kami sangat menyangi Voci.
Keseharian untuk menjalankan tugas redaksi di Suara Hukum aku bersama dengan empat kawanku lainya. Dengan tiga senior yang sudah lebih ada. Sedikit sekali? Iya sebenarnya dulu banyak, tapi ada yang sudah keluar dan sudah tidak aktif lagi. Praktis angkatanku dan angkatan senior ku, ada dan delapan orang berjuang di Suara Hukum hingga saat ini.
......
Hari ini deadline Buletin edisi lima di Bulan November. Semua asik dengan tugasnya. Dalam redaksi aku sejatinya hanya reporter tapi berhubung aku cukup menguasai tentang aplikasi desain grafis berperan ganda sebagai layouter. Dalam sebuah penerbitan layouter berperan penting karena ia bertugas melakukan desain dan menata tatak letak teks berita dalam buletin atau media yang kita akan cetak. Buruk jeleknya desain dan tampilan produk dari media cetak tergantung sepenuhnya dari layouter.
Sedangkan Reporter tugasnya tentu mencari berita dan menuliskannya. Susah-susah gampang kalau menurutku menjadi reporter. Hal yang paling sulit ketika harus menunggu narasumber yang akan kita wawancara.
Ada yang enak untuk ditemui ada juga yang membungkam diri seperti menyibukkan diri tidak mau diganggu. Alhasil kesabaran adalah kuncinya. Menunggu diruang dekan atau ruang rapat mereka sampai mereka keluar. Dua jam, tiga jam, bahkan mungkin seharian pernah aku alami.
"Lina Mas Juki kemana?," tanyaku sembari aku menatap layar komputer untuk menyelesaikan deadline layout kali ini.
"Ngga tau Ar, berisik ah, ini aku masih nulis beritaku, udah deh diem aja," jawab Lina dengan ketus.
"Belum selesai? jadi belum kamu kirim ke Mas Gi?," sela ku pada Lina. "Sore ini harus selesai lo," sambungku. Dari ekspresi yang terlihat seperti Lina tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja. Mati aku kalau Lina sampai marah, bisa dicakar habis aku.
"Berisik! bawel! itu tuh anak BEM aku wawancara susahnya minta ampun, akhirnya aku paksa, akhirnya mau dia," benar tebakan ku. Beginilah Lina, perempuan yang berjiwa laki-laki. Preman cewenya Suara Hukum.
"Dari kemarin kan aku udah bilang makanya kalau wawancara jangan ditunda-tunda," balasku sengaja memang membuat Lina tambah kesal.
Lina punya tingkat emosi yang tinggi apalagi waktu PMS. Jadi pada bulan-bulan tertentu ketika PMS sudah melanda Lina jangan sekali-kali memancing Lina dalam perdebatan yang ia tidak sukai. Banyak kemungkinan akan kena semprot, cakar, tonjok, atau mungkin hal yang tidak kita duga.
Ia blak-blakan kalau tidak suka ya tidak suka, emosinya tinggi tapi semangatnya boleh juga. Tipe perempuan yang berani, tapi sayang seganas-ganasya Lina, ia takut pada balon dan semua jenis boneka.
Aku pernah tertawa terpingkal-pingkal ketika Lina pernah bercerita harus putus gara-gara pacarnya kasih kado beruang tedy bear warna merah jambu. Seketika itu Lina minta putus, alasanya ia tidak suka dengan boneka. Dasar perempuan aneh.
......
"Lin, Ar, aku capek, butuh air, laper," Suara Rendy tiba-tiba muncul dari pintu masuk Ruang redaksi. Seperti mukanya kacau dan kelaparan.
Selang beberapa menit Faisal datang. Faisal dan Rendy ini selalu sepaket kalau kemana-mana awalnya gara-gara selalu dipasangkan dalam liputan. Akhirnya kebiasaan ini mereka bawa dan begitulah, kalau ada Rendy ya ada Faisal atau sebaliknya. Tapi mandinya sendiri kok hehehe.
"Itu lo ada air, kalau makanan nggak ada," jelasku pada Rendy. "Gimana wawancara sama Bu Dekan?," tanyaku pada mereka berdua.
"Zonk Ar, zonk lagi. Aku sama Rendy udah nunggu empat jam diluar, terus Bu Dekannya keluar pas aku mau wawancara dia bilang mau rapat keluar kota, Jancuk nggak tuh," seketika aku terbahak atas keterangan dari Faisal
Faisal ini dari Surabaya jadi kata-katanya berlogat sedikit kasar. Ia berbadan besar, anak pecinta alam sering naik gunung dulu waktu SMA. Tapi sayang dia takut sama kucing. Kalau Rendy anaknya konyol, dia paling sering ngeluh, sering lapar, paling sering tidur, bangunya susah.
Jadi pernah suatu seketika ketika Rendy pernah ketiduran di ruang, tidurnya lelap betul. Sedangkan saat itu ada Faisal yang berotak gila. Ia mengajaku dengan Lina yang pada waktu itu masih di ruang redaksi berinisiatif mengangkat Rendy ke belakang fakultas. Belakang fakultas ini masih rumput-rumput dan banyak pohon besar dan konon memang angker, katanya sih.
Cukup susah payah kami bertiga mengangkat Rendy. Meletakan persis di pohon tua yang katanya angker di kampus. Lalu pulang ke kos masing-masing. "Gila Faisal ini, serius kita tinggal pulang," kata Lina.
"Udah tenang aja, Rendy ini titisan anak setan nggak bakal diganggu," Faisal bersikap tanpa dosa dan kami berjalan langsung meninggalkan Rendy dengan gelak tawa tanpa henti.
Saat kami tengah berada di parkiran tak lama. Teriakan keras berasal dari belakang fakultas. Kami kaget apalagi hanya kami yang sore itu masih di fakultas. Ternyata suara itu dari Rendy ia lari terbirit-birit dan kebingungan langsung menuju kearah kami di parkiran.
"Ar, Lina, Faisal, aku mau dijadiin tumbal sama penunggu belakang fakultas," kata Rendy pada waktu itu seperti bingung dan terengah-engah. Sontak saja kami itu langsung tertawa terpingkal-pingkal. Kalau bukan Faisal bukan siapa lagi.
"Kamu ngapain kesana?," tanya Faisal
"Aku nggak ngerti tiba-tiba aku udah disana," Rendy bicara sambil terengah-engah.
"Makanya jangan tidur sore-sore rasain sendiri kan," kata Faisal sembari menahan tawa.
.....
Kurang satu ya? Iyaa sudah ada Faisal, Rendy, dan Lina, yang terakhir ini aset Suara Mahasiswa. Karena ia itu paling cantik di ruang redaksi (Lina kalah). Berkacamata dengan ramput diponi dan terurai panjang. Namanya Wulan.
Beda dengan Lina ia 180 derajat berbeda dengan Lina. Pendiam, lugu, dan tentu manis. Aku dan Rendy sering kali menggoda Wulan tapi hanya iseng di Suara Hukum karena ada aturan tidak tertulis tentang dilarang keras pacaran sesama anggota. Wulan ini ahlinya gambar dan bikin cerpen, jadi apapun terbitan Suara Hukum pasti ada cerpen si Wulan.
Wulan ini paling lemah kondisi fisiknya. Ia punya penyakit dalam, yang sampai saat ini masih menjadi rahasia kami berlima yaitu, penyakit jantung. Rahasia ini tetap kami jaga dan tidak ada orang yang tahu selain kami dan orang tua Wulan. Ia tak bisa beraktivitas banyak apalagi kerja berat. Pernah seketika ia pingsan karena terlalu lama berdiri saat berdesakan pada liputan salah satu UKM di Fakultas Hukum.
Semenjak saat kami tahu kondisi Wulan. Jadi tak heran bila tugasnya bukan sebagai reporter ia adalah penulis cerpen terhebat di Suara Hukum sekaligus ilustrastor. Ia mempunyai tugas sebagai pembuat ilustrasi di setiap tulisan, seperti karikatur atau sejenisnya.
.....
Akhirnya aku menemukan pengganti Anang, Huda, dan Bowo. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing tapi kami berusaha untuk menutupi kelemahan kami. Saling menjaga agar ikatan tim ini tetap solid.
Akhirnya aku menemukan sahabat baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Definisi Rindu
Teen Fiction| Romance | Fiksi "Bagiku rindu adalah hak setiap, termasuk rindu denganmu" ..... Malam yang selalu menyanyat direlung hati yang dalam. Menepis dingin dengan kelembutan rasa. Melangkah dan berjalan di sisi yang sepi. Aku tetap ada disini, sama keti...