Menaruh hati bukan pada tempatnya. Menanam sebuah harapan, menyirami, dan merawat dengan sepenuh hati. Tapi tiba-tiba apa yang sudah aku tanam, ternyata tidak seperti yang aku harapkan. Tumbang dan rubuh, hancur dan kini tandus. Seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Malam ini semuanya terjadi.
"Maaf, bukan aku bermaksud merusak hubunganmu, atau mungkin aku yang terlalu berharap," menyadari bahwa ini bentuk penyesalan sekaligus kepedihan. Mencintai dengan orang yang salah? Inikah sebuah gambaran untuk menggambarkan rasa yang tepat diwaktu yang salah?
"Kita masih bisa berteman seperti biasa," kata Mella
"Bukankah kita sejak awal hanya sebatas berteman?," sela ku pada Mella. "Kalau kau minta aku untuk menjauh aku terima, baiklah. Mungkin memang aku bukan siapa-siapa bagimu," bentuk perlawanan terakhirku untuk memberikan aku ketegaran dihadapannya.
"Arya, aku minta maaf, kita masih bisa temenan tapi kamu jangan berubah. Tetap jadi Arya yang aku kenal kayak dulu," Kata Mella. "Ini juga salah ku, tapi dia-," berusaha menjelaskan padaku
"Karena dia sudah ada sejak dulu, aku hanyalah orang baru!. Bukan siapa-siapa mu, dan mungkin saja kau berfikir bila aku perusak tentang hubunganmu denganya, benar?" secepatnya mungkin aku potong penjelasan Mella. Bagiku semua ungkapan itu hanya bius untuk memberikan rasa manis sekedar untuk mempersilahkan aku pergi dari hidupnya secara halus.
"Arya bukan kayak gitu," Mella menduduk sesekali menatapku dengan rasa yang bersalah. Sungguh ini bukan kesalahan Mella. Aku yang menanam, aku pula yang merawat, dan aku sendiri yang akan memanennya. Memanen sebuah kepedihan kembali.
"Mell, ayo pulang, ini sudah malam," Aku berdiri dan langsung berjalan ke Kasir. Bergegas keluar dari kedai nasi goreng tersebut. Aku mengajak Mella dan menghantarnya untuk pulang.
"Arya kamu salah paham," ungkap Mela
"Salah paham?," aku berhenti "Semuanya sudah cukup jelas disini,"
"Kita masih temenan," kata Mella
"Iya, berteman, itu kan maumu?,"
"Aku berharap kamu bisa menemukan orang yang tepat, bukan sepertiku," Sambil menahan langkahku. Ia seperti menjelaskan suatu wacana yang tidak ingin aku realisasikan kembali. Berharap dan mencari lagi? Karena aku tidak sedang melakukan perburuan.
......
Hari ini kelas berakhir lebih cepat. Bu Nindi kali ini hanya mengisi 30 menit saja. Penguji sidang katanya, alasan yang ia munculkan hari ini. Alhasil penghuni mata kuliah Bu Nindi bersorak ria. Ini yang membuat kuliah hari ini cepat berakhir.
Menyusuri lorong fakultas aku tertarik untuk melihat mading di pojok fakultas. Mading ini penuh dengan berbagai macam pamlet acara mulai yang penting sampai tidak penting. Terbaru sampai yang sudah satu tahun terlaksana masih ditempel di Mading lawas ini. Ada satu Pamlet yang menarik hati. "Redaksi Pers Mahasiswa Suara Hukum" tulisnya.
Sepertinya menarik pikirku. Beberapa kesibukan dan ikut organisasi semacam ini mungkin bisa membuat aku mendapat suasana baru. Mungkin bisa dapat teman baru, dan mungkin pengalaman baru. Melupakan apa yang telah terjadi.
......
"Jadi Mella bilang kayak gitu?," Kata Arif. Arif adalah teman kuliah yang satu jurusan dengan Mella. Kebetulan juga ia satu kelas yang sama. Meskipun kita berbeda jurusan tapi aku lumayan dekat dengan Arif, ia teman ospek dulu."Nggak nyangka ya Arya," Arif sambil manggut-manggut.
"Mungkin saja Rif," sahutku datar.
"Mella itu baik," tambah Arif lagi.
"Iya baik,"
"Kalau elo kebayanyakan baper," ejek Arif. "Apapun hal dia lakuin sama Mella elo baperin kan? atau emang elo baperan, dan kalau aku jadi Mella, aku setuju yang dilakuin Mella hehehe," sambungnya
"Kok malah dukung Mella sih Rif," nadaku mulai jengkel. "Kasih solusi kek, saran, atau motivasi biar apa gitu," tambahku. Hal yang aku tidak sukai pada Arif, senang melihat teman susah. Bila susah ia bisa mengejeknya lalu berpura-pura tidak melakukan apa-apa.
"Ahh ngga mau, aku setuju sama si Mella hehehe,"
"Seneng ya kalau temen lagi susah?,"
"Hahaha nggak Ar bercanda,"
"Nggak lucu" jengkelku
"Tuhkan baperan ahahaha," canda Arif
.......
Setelah mendapatkan informasi tentang pendaftaran anggota organisasi tersebut aku mempersiapkan semua berkasnya. Ini akan menjadi awal yang bagus pikirku.
Aku hanya berharap dapat kembali ke diri ku sendiri. Mencabut akar kenangan, membuangnya bila perlu bisa dibakar untuk lenyap. Mencari kesibukan atau memang mencari tempat pelarian? Baiklah bila disuruh memilih aku tidak akan pilih keduanya.
"Namamu siapa?," tanya salah satu anggota anggota Suara Hukum.
Penampilan yang sedikit aneh, rambutnya gondrong terurai keriting. Ada robekan di celananya serta kaos oblong seperti sudah lama tak dicuci, style katanya, drescode kebesarannya kemungkinan."Arya Kak," jawabku singkat
"Ngapain kesini?," Ungkapan dari kakak laki-laki yang aneh ini. Melotot kearah ku membuatku heran apa yang dilihatnnya. Aku salah apa pikirku, atau memang aku salah masuk?
"Aku nggak salah masukkan kak?," aku sendiri yang dibuat bingung
"Terus datang kesini mau ngapain?," tanya ia kembali.
"Daftar kak. Mengumpulkan formulir," Sambil memelankan suaraku. Aku sedikit ragu.
"Daftar?," Ia justru balik bertanya kepadaku.
"Aku ingin daftar di Redaksi Pers Suara Hukum ini," terangku kepadanya.
"Hahaha bercanda, sini-sini maaf ya tadi hanya akting saja. Oh ya ini ruangan kami, ruang sempit tempat kerja kami, atau kami sebut meja panas kami hehehe," ucap kakak aneh tadi.
Ia menunjukkan beberapa lemari yang berisi jejeran buku, satu unit komputer lengkap dengan print out, beberapa karya lukisan dan tulisan yang bingkai di dinding. Serta berbagai macam coretan tulisan dan gambar tak senonoh dan foto beberapa pengurus terdahulu.
Ia menyambung lagi. "Oke, aku terima formulirmu, Minggu depan kita sudah masuk materi," tegasnya. "Namaku Juki, aku pimpinan umum Redaksi Suara Hukum ini," sambungnya. Ternyata dia adalah pimpinan umumnya. Ruang sekretariat ini sepi dan aku hanya berdua dengan kakak aneh yang mengaku Juki namanya.
"Aku Arya," aku memperkenalkan diri kepada Kak Juki. Seraya aku turut mengulurkan tangan dan berjabat tangan.
"Arya, nama yang bagus,"
"Makasih kak,"
"Baik, selamat bergabung ya,"
......
Bergabung dengan unit kegiatan ini lumayan menyita waktu ku. Berbagai macam hal terutama hal kepenulisan dan penerbitan kami kerjakan. Kadang kala aku tak sempat merasa lapar kalau sudah urusan deadline buletin yang besok harus siap edar. Bekerja dibawah tekanan mungkin ini. Ini adalah tempat pelarian terbaik.
Disini, setidaknya aku mendapatkan jeda waktu.
Sebuah jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Definisi Rindu
Подростковая литература| Romance | Fiksi "Bagiku rindu adalah hak setiap, termasuk rindu denganmu" ..... Malam yang selalu menyanyat direlung hati yang dalam. Menepis dingin dengan kelembutan rasa. Melangkah dan berjalan di sisi yang sepi. Aku tetap ada disini, sama keti...