1. Barina Agatha

16.7K 742 26
                                    

Daerah Sudirman sudah mulai dipadati pekerja. Kemacetan merupakan pemandangan lumrah di jam kerja seperti ini, apalagi pagi hari. Mobil berderet memadati jalan raya. Suara klakson dari kendaraan yang tidak sabar menambah ramai. Tak sedikit mereka yang berjalan kaki memiih menyumbat telinganya dengan earphones. Mendengarkan musik lebih menyenangkan dan menambah mood. Di persimpangan atau putaran balik, kesemrautan tak terelakan. Sebenarnya pemandangan seperti ini merupakan hal biasa bagi Barina Agatha. Namun, entah kenapa, hari ini kepalanya sedikit pusing. Earphones yang biasa terpasang di telinganya, kini tak terlihat. Kerutan di keningnya terlihat jelas. Nampaknya bukan sekedar pusing. "Tau gini, kemarin diselesaikan lebih awal. Bikin repot aja!" gerutunya sambil memeluk map bening berisi berkas kerjaan. Di bahu kanan, menggantung tas kulit hitam dengan ikatan pita di salah satu sisi talinya.

Barina membelokkan langkah ke dalam gedung berlantai dua puluh lima. Niat ingin segera sampai di kantor, tapi terpaksa harus menunggu lift. Ketiga lift tengah naik. Barina tambah kesal. "Hari ini sial banget," gumamnya. Setelah menunggu lima menit, akhirnya satu lift tiba di lantai dasar. Segerombol orang menghambur masuk ke lift, Barina di antaranya. "Permisi! Tolong lantai dua belas!" ucapnya kepada seseorang yang berdiri di dekat pintu. "Terima kasih," ucapnya lagi. Tiap lantai ada saja yang turun, membuat dia bernapas lega.

Pintu lift terbuka di lantai dua belas. Barina melangkahkan kaki keluar lift lantas membenarkan posisi map yang hampir lepas dari dekapan. "Selamat pagi!" sapanya nyaring kepada pegawai yang sudah datang sambil menempelkan jempol kanan di mesin absensi.

"Tumben rambut lo nggak serapih biasanya," tanya Nura mendekati Barisa.

"Nggak sempat," jawabnya ketus.

Nura yang dilewati begitu saja, memandang punggung barina dengan alis terangkat. Tanpa menunggu semprot dari Barina, Nura meninggalkan gadis itu dan kembali ke mejanya.

Barina menyalakan komputer lantas mengeluarkan kertas dari dalam map yang dibawanya. Dia menatap kertas itu dan komputer bergantian. Tangan kanannya tidak lepas dari mouse, sedangkan telunjuk kiri menunjuk sesuatu di kertas.

"Sudah siap?" tanya lelaki tinggi yang memiliki badan tegap dan kepala botak kepada Barina.

Barina mengangkat wajah dan menoleh lelaki itu. "Iya Pak, sebentar lagi," jawabnya. Lantas jemarinya kembali menari di atas keyboard komputer. Usai dicetak ulang dan dirapihkan, Dia masuk ke dalam ruang lelaki tadi. "Ini laporannya, Pak," ucapnya sembari menyodorkan laporan.

"Terima kasih, Barina." Atasan gadis itu bernama Doni Permana—tak lain teman satu SMA yang meneruskan usaha Papinya. Sebenarnya Doni satu tahun di atas Barina. Mereka kenal karena sempat satu organisasi di SMA. Doni memang diberkahi kecerdasan. Barina sendiri sempat menyukai lelaki itu saat SMA, namun dia memilih untuk diam dan tetap berteman hingga sekarang. Doni sendiri sudah memiliki tunangan. Kabarnya sebentar lagi mereka akan menikah. "Bar, lain kali rapihkan dulu rambut kamu sebelum ke kantor!" pinta Doni sambil membolak-balikkan laporan.

Barina yang masih berdiri tersenyum malu sambil menyisir rambut pendeknya dengan jemari. "Maaf, Pak."

Barina bekerja di sebuah perusahaan konsultan struktur yang bekerja dalam merancang tulangan bangunan. Posisinya di perusahaan itu sebagai akunting merangkap keuangan. Bahkan sekaligus personalia. Tak banyak karyawan di kantor ini, sekitar dua puluh orang. Doni menyewa kantor ini baru satu tahun. Sebelumnya berada di daerah Jakarta Barat. Karena aksesnya yang susah, membuat Doni memindahkan kantor ke daerah Sudirman.

"Laporannya benar. Nanti siang saya ada rapat. Saya sudah bilang ke Yuni. Dia juga ikut rapat. Kamu juga harus tau jadi saya bisa titip kantor ke kamu."

Barina mengerutkan dahi. "Nggak usah dititipin, Pak. Kantor ini nggak seperti kantor sebelumnya. Saya pastikan aman," jawab nyeleneh Barina.

Doni tertawa geli. "Maksud saya, kalau ada masalah, saya percayakan ke kamu, Bar."

"Oh." Barina memamerkan gigi putihnya yang baru saja di venir, "saya permisi keluar."

"Ya. Jangan lupa! Rapihkan rambut kamu!"

Barina kembali ke mejanya dan menghela napas panjang. Tak terasa perutnya lapar. Dia baru ingat, tadi pagi belum sempat sarapan. Tapi, sebentar lagi jam masuk kerja. Tidak enak jika dia izin keluar. Apa kata karyawan lain. Kabar kedekatan dirinya dengan Doni pun sudah diketahui oleh karyawan lama. Awalnya mereka menaruh curiga yang tidak-tidak. Namun, baik Barina dan Doni tak pernah menunjukkan sikap yang tak wajar selama di kantor. Makanya, Barina kerap memanggil Doni dengan sebutan Pak. Doni memanggil Barina dengan nama dan 'kamu'. Padahal di luar kantor, mereka bicara begitu santai dengan panggilan 'lo-gue'.

Tetangga dan teman-temannya menganggap bahwa Barina kini kaya raya dan sukses sebab bekerja di daerah Sudirman. Padahal, mereka tidak tahu bahwa pengeluaran gadis itu justru lebih banyak dibandingkan ketika masih di daerah Jakarta Barat. Apalagi kini setiap pulang kerja, seringkali mampir ke mall terdekat sekedar untuk minum kopi. Gaya hidup hedonis sudah meracuni kehidupannya. Bukan karena dia ingin, tapi karena paksaan dan ajakan teman kantor. Jika menolak, kemungkinan dia akan dijauhi dan dianggap sombong. Barina menjadi serba salah. Tiap bulan, gajinya kerap untuk membayar tagihan kartu kredit.

Suatu hari bapaknya masuk rumah sakit karena terkena usus buntu dan harus operasi segera. Saat itu, tanggal gajian Barina masih lama. Kartu kreditnya sudah mencapai limit. Uang gaji bulan lalu sudah digunakan untuk membayar cicilan mobil. Barina bingung harus bagaimana. Dia anak semata wayang. Terkadang, dia suka berandai-andai jika memiliki kakak atau adik untuk diajak bertukar pikiran mencari solusi. Sebenarnya, kenapa dia hidup hedonis sekarang, salah satu alasannya karena kesepian. Tinggal di Jakarta seorang diri. Bersenang-senang dengan temannya adalah cara gadis itu untuk menikmati hidup. Alhasil, untuk membiayai operasi bapaknya, Barina terpaksa pinjam ke Doni.

Lepas Doni berangkat rapat, Nura mendekati Barina seolah dia lupa sudah diketusi sebelumnya. "Bar, nanti pulang kerja kita ngopi-ngopi, yuk!" ajak Nura sambil menarik kursi di depan meja Barina.

Barina menghentikan pekerjaannya sejenak. "Kayaknya nggak bisa, Ra. Hari ini bapak keluar dari rumah sakit. Gue harus langsung pulang."

Nura menaikkan satu alisnya. "Ya, udah," jawabnya sambil berlalu begitu saja. 

------

Perkenalan dulu. 

Gimana perkenalannya? 

Salam perkenalan,

Author

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang