39. Sebuah Rencana

3.1K 263 20
                                    

Senin pagi Doni belum juga beranjak dari ranjang. Kedua tangannya menumpu kepala belakang. Matanya menatap langit-langit kamar sambil berpikir. Sepulang dari rumah Barina kemarin siang, belum juga menenangkan hati. Baru saja merasa lega karena gadis itu belum memberikan jawaban kepada Geri, ketika menjelang pulang, Barina ditelepon oleh Barata dan memberitahu bahwa Geri beserta keluarga datang untuk bersilaturahmi. Barina menceritakan semua soal Geri kepada Doni. Mendengar cerita itu, semangat Doni kembali menciut. Dia kalah dukungan. Bagaimana tidak, mengetahui bahwa hubungan Geri dan Barina berawal dari perjodohan yang direncanakan oleh kedua ibu mereka membuat lelaki itu merasa mendapatkan kekalahan yang pernah dirasakan. Masa lalu dengan Maya menguak kembali di pikiran dan bersarang di sana sehingga membuat dirinya tidak berdaya. Dia meyakini bahwa perjodohan akan mengalahkan cinta yang sebenarnya.

Usai Barina menceritakan soal Geri, Doni kembali bertanya kepada gadis itu. Berharap jawabannya bisa menguatkan semangatnya lagi. "Kalau gue bawa orangtua ke orangtua lo, lo akan jawab apa?" tanya Doni sambil menyondongkan badan ke depan dan meremas kedua tangan.

Barina terdiam. Dia juga tidak tahu harus jawab apa. Gadis itu berdeham. "Geri orang baik. Lo juga orang baik. Tapi ... gue bingung. Andaikan Tuhan bisikin ke gue siapa jodoh gue sebenarnya, gue nggak akan bingung. Jadi, gue terserah bokap aja, karena selain bokap netral, bokap juga yang akhirnya menikahkan gue nanti." Barina menunduk.

Doni mengangguk ragu. "Bokap udah kasih jawaban ke Geri?"

Barina menggeleng. "Bokap kasih gue waktu buat berpikir katanya."

"Nyokap lo gimana?"

Barina mengangkat bahu.

Mengingat percakapan itu membuat Doni lagi-lagi tidak bisa tidur. Sepanjang perjalanan pulang kemarin, dia hampir saja menabrak pejalan kaki saking tidak fokus. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk tidak ke kantor hari ini.

Di meja lampu, terdapat kotak kecil perak dengan bahan buludru. Doni meraih kotak itu dan membukanya. Di sana terdapat cincin berlian yang sebelumnya berniat diberikan kepada Nita di makan malam dua hari lalu. Lelaki itu mendapatkan sebuah ide. Dia segera beranjak dan menghambur keluar.

Lelaki itu menemui Nita yang tengah mengolesi selai ke roti dan Darma yang tengah membuka email di ponsel tablet. Melihat kedatangan anak laki-lakinya, mereka berdua menoleh ke arah Doni secara bersamaan.

"Pa, Ma, kali ini aku minta tolong banget." Dia berdiri di depan meja makan.

"Sini duduk dulu!" Nita menepuk kursi di sebelahnya. Di sana Doni duduk. "Minta tolong apa?"

"Lamarkan Barina buat aku," jawabnya mantap.

"Barina?" Nita mengernyit.

"Gadis yang di restoran itu, loh, Ma," sambar Arti sambil menuangkan air mineral ke gelas kaca.

"Oh." Nita membulatkan mulut. Dia meletakkan roti di atas piring suaminya.

"Kamu kenal di mana?" Darma bersuara.

"Dia keuangan di kantor, Pa."

Mendengar jawaban Doni, Darma mematikan layar tablet. "Karyawan kamu?"

Doni mengangguk.

Arti menarik kursi. "Kayak drakor aja, ya. Bos suka sama karyawannya." Dia terkekeh pelan.

Nita mendesis pelan, meminta Arti untuk berhenti meledeki adiknya.

"Please, Pa, Ma." Doni merapatkan kedua telapak tangan sambil memohon.

"Terserah Mama kamu," jawab Darma santai sambil melirik istrinya.

Doni menghadap Nita dan menggengam tangan ibunya. "Mama cuma nggak mau kamu gagal lagi. Sebagai orangtua, sedih lihat kamu seperti itu terus nasib percintaanya. Dulu ...."

Belum Nita menyelesaikan ucapannya, Doni berkata, "dulu, ya, dulu. Sekarang, ya, sekarang. Yang dulu aku udah ikhlas."

Arti menyambar roti dan mengolesi dengan selai stroberi. "Biasanya lo kenalin dulu ke rumah. Bawa beberapa kali, baru minta dinikahin. Ini tiba-tiba aja."

Doni mengubah posisi duduk. "Barina bukan perempuan sembarangan. Dia nggak pernah pacaran, makanya aku benar-benar respek sama dia."

Arti mengangguk dan mendaratkan roti ke dalam mulut. Sedangkan, Darma menyeruput teh chamomile hangat.

"Sudah, lamar anakmu, Pa!" pinta Nita kepada suaminya.

Mendengar ucapan Nita, Doni langsung memeluk wanita berusia enam puluh itu. "Makasih, Ma. Aku siap-siap dulu." Dia beranjak dari kursi.

"Siap-siap?" tanya mereka bersamaan.

Doni kembali duduk. "Iya." Dia melihat ekspresi keluarganya yang butuh penjelasan lebih lanjut. "Sebenarnya laki-laki yang bersama Barina di restoran itu orang yang awalnya dijodohkan oleh ibunya ...." Doni menjelaskan sesuai dengan apa yang Barina jelaskan tanpa mengurangi dan melebihkan apapun. "Makanya, aku nggak mau kalah tempur." Dia mengakhiri penjelasannya.

Mereka terdiam sejenak. Darma beranjak dari kursi. "Papa mau ke mana?" tanya Nita.

"Siap-siap, lah. Kan, kita mau melamar gadis itu untuk anak laki-laki kita," ucap Darma sambil menyeringai.

Nita ikut beranjak dan menyusul suaminya. Doni menghambur ke kamar, ingin berpenampilan maksimal. Sedangkan, Arti mengulum senyum. Dia bahagia karena kisah percintaan adiknya tidak berakhir menyedihkan. Setidaknya, adiknya bisa menua dengan pasangan hidup.

Di sisi lain, Barina sudah dalam perjalanan ke kantor untuk mengambil berkas pajak. Hari ini sudah merencanakan untuk laporan pajak dan ke bank. Sampai siang hari tidak akan di kantor. Dia pun sudah memberitahu di grup, jika ada yang perlu dengannya. Doni sudah membaca info tersebut saat dalam perjalanan ke Bekasi untuk menjalankan rencananya.

"Pak Doni nggak masuk hari ini," ujar Yuni sesaat Barina baru tiba di meja kerja.

"Kenapa?" Barina meletakkan tas di atas kursi.

"Ada urusan keluarga katanya. Sering banget, ya." Yuni menyeringai. "Gue, deh, yang pergi rapat," lanjutnya lemas.

Kenapa kemarin nggak bilang apa-apa, ya? Batin Barina. Gadis itu membuka laci dan meraih kunci lemari berkas.

"Jadi ke kantor pajak?" tanya Yuni sambil bersiap-siap berangkat rapat.

"Jadi. Kenapa?" Barina memunggungi Yuni

"Nura sakit. Dia nggak masuk. Masa admin kosong?"

Barina membalik badan. Dia bersandar ke lemari. "Iya, juga, ya. Gimana, dong? Udah janji sama orang pajak, nih."

Mereka diam sejenak mencari solusi.

"Ya udah, enginer aja yang berangkat rapat. Lagi pula cuma rapat biasa, kok." Yuni meletakkan kembali tas yang sudah bergelantung di bahu.

"Yakin, nggak masalah?" Barina meyakinkan.

"Iya." Yuni membuka email yang biasa dikerjakan Nura.

Jika Nura sakit, Yuni yang menggantikan pekerjaannya. Jika Yuni tidak masuk, sebagian pekerjaan dikerjakan oleh Nura dan urusan jadwal rapat dikerjakan oleh Barina. Namun, jika Barina tidak masuk, tidak ada yang bisa menggantikan untuk mengerjakan pekerjaannya. Makanya, sedari awal dia bekerja di kantor itu, Doni ingin membuat Barina senyaman mungkin. Lelaki itu menyukai cara bekerja Barina yang rapi, tidak pernah tercecer dan selalu selesai.

"Makasih, ya." Barina kembali mencari berkas dan menyiapkan laporan pajak yang akan dibawa. "Berangkat dulu, ya." Gadis itu pamit kepada Yuni. "Biar pulangnya bisa pas makan siang."

"Hati-hati." Yuni melihat punggung Barina yang berjalan ke arah luar.

--------
Kira-kira jawaban Barata apa, ya?

Terima kasih sudah membaca 😉

Salam,

Author.

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang