47. Lelaki Bukan Paranormal

3.9K 274 5
                                    

Seminggu sebelum pernikahan, Doni dan Barina menyempatkan diri untuk bertemu sebelum gadis itu dipingit. Meskipun lima hari dalam seminggu mereka bertemu di kantor, hari minggu ini bertemu di kafe roof top sambil menyambangi kafe sahabatnya sebelum berganti status. Pernikahan mereka yang bertepatan dengan malam tahun baru dipilih karena sekaligus ingin menikmati malam pergantian tahun bersama kedua keluarga besar. Pada pesta pernikahan, mereka tidak mengundang orang banyak, hanya sekitar empat puluh orang terdekat saja. Teman-teman lain diundang di acara akad saja yang akan diadakan di kafe itu juga.

Barina duduk memandang pemandangan ibu kota di sore hari dengan segelas es lemon tea. Dia menunggu kekasihnya. Di hadapannya terbuka buku yang pernah dibeli beberapa bulan lalu dan belum selesai membaca.

Alexa mendekati gadis itu dan duduk di sampingnya. "Bengong aja. Baca buku apa?" tanyanya sambil memandang buku itu.

Gadis itu menoleh disertai senyuman lalu memperlihatkan kover buku lalu menyelipkan pembatas buku di halaman tersebut dan menutupnya. "Lex, waktu lo mau nikah, deg-degan, nggak?"

Alexa mengingat-ingat masa itu. "Deg-degan, ya? Lumayan. Tapi, waktu itu yang gue pikirin bukan deg-degannya." Dia menyeringai.

Barina menoleh. "Terus apa?"

Alexa tersenyum getir. Dia memandang sahabatnya sebentar. "Lo mau tambah lagi lemon tea?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Barina tersadar, tahu jawaban dan alasan Alexa mengalihkan pembicaraan. "Nggak usah, Lex. Sorry, ya. Seharusnya gue nggak nanya gitu."

Alexa mengusap bahu Barina. "Nggak apa-apa. Lo kalau lagi bingung memang suka nggak bisa mikir sebelum ngomong." Wanita itu memiringkan bibir.

Barina tidak marah. Dia mengakui kekurangan diri sendiri. Gadis itu kembali memandang ibu kota dari ketinggian.

"Kalau udah nikah, lo masih kerja di kantor itu?" Alexa memulai dengan topik pembicaraan yang baru.

"Mau gue, sih, masih, ya."

"Kok mau lo?" Alexa tidak mengerti.

"Nyokap dia mau gue berhenti jadi karyawan. Dia mau gue bantu Doni aja."

"Bagus, dong."

"Gue nggak bisa. Udah nyaman jadi bagian keuangan, meskipun nggak digaji, nggak apa-apa." Barina menoleh sesaat.

Alexa mengangguk. "Susah kalau udah karakter lo begitu. Doni gimana?"

"Dia setuju sama mau gue. Nyokapnya juga, sih. Katanya, paling penting gue nyaman. Lagi pula, gue nggak enak sama karyawan lain. Pasti nanti sikap mereka berubah ke gue."

"Jadi segan, ya. Lo udah jadi istri bos mereka. Ngobrol sama lo juga jadi serba hati-hati, takut diaduin." Alexa tertawa membayangkan hal itu terjadi.

Tanpa komentar, Barina ikut tertawa membayangkannya. Apalagi Nura yang gemar sekali membicarakan Doni. Dia pasti menjadi serba hati-hati bicara dengan Barina nanti. "Gue mau nggak ada yang berubah. Mereka bersikap seperti biasa sama gue."

"Nggak bisa, Bar. Mau lo usaha gimana juga, status dan posisi lo udah berubah. Otomatis sikap mereka ke lo juga berubah," jelas Alexa. "Pemikiran lo sebagai istri bos dengan pemikiran mereka sebagai karyawan udah nggak sama lagi."

Barina diam sejenak sambil berpikir. Ucapan Alexa ada benarnya juga, situasinya sudah berbeda. Tak lama seseorang membelai kepala Barina secara tiba-tiba. Kedua wanita itu menoleh. Melihat siapa yang datang, Alexa pamit kepada Barina untuk kembali bekerja dan menyilakan orang itu untuk duduk.

"Aku nggak telat, kan?" tanya lelaki itu seraya melirik jam tangan. Dia menarik kursi tinggi samping Barina dan duduk di sana.

"Nggak." Gadis itu melontarkan senyum.

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang