20. Sebuah Kekuatan Untuk Mempertahankan

3.5K 310 9
                                    

Barina menancapkan gas ke RS. Ibu dan Anak tempat Nare melahirkan. Dia berangkat sendiri sepulang kerja. Sedangkan, Nurulia sudah pulang setelah jam istirahat habis. Dia akan ke RS bersama suaminya nanti. Selepas bertemu Nurulia dan mendapat kabar kelahiran anaknya Nare, Barina menjadi melupakan persoalan dengan Doni. Dia benar-benar lupa. Setelah istirahat, konsentrasinya kembali. Dia bisa bekerja dengan baik. Padahal sebelum istirahat, dia sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Apalagi sering mendengar nama Doni disebut. Hari ini atasan muda itu benar-benar tidak ada komentar apapun di grup kantor. Lelaki itu seakan hilang ditelan bumi.

Pulang kerja di jam sibuk membuat Barina frustasi dengan kemacetan. Suara klakson dari berbagai kendaraan bikin kondisi semakin berisik dan ruwet. Barina menyapu pandangan yang tertangkap di depan mobilnya. Asap hitam dari knalpot bus menyemprot apapun yang ada di belakangnya. Kening Barina mengerut. Dia tidak kebayang jika menjadi pengendara motor yang berada di belakang bus. Lalu, dia menangkap sepasang sejoli yang tengah bermesraan di atas motor. Dia kembali mengerutkan kening. Cinta benar-benar membuat orang lupa diri. Bagi mereka, sekelilingnya tetap berbunga meskipun penuh polusi begini. Barina menggeleng. Dia perlahan memajukan mobilnya setiap ada celah kosong.

Hampir lima belas menit dia mengamati keanehan dan keunikkan yang terjadi di depannya. Lama-kelamaan, gadis itu mulai bosan. Dia menyalakan radio. Suara penyiar mengudara. Dua penyiar itu saling berbalas joke untuk menghibur pendengar. Namun, tak membuat Barina tertawa. Mungkin, memang selera humor gadis itu yang ketinggian. Baginya tak masalah, setidaknya ada hiburan. "Oh, iya. Mampir ke toko bayi dulu, nih. Masa nggak bawa apa-apa ke sana," ucapnya pada diri sendiri. Dia meraih ponsel yang diletakkan di dekat speedometer lalu mencari toko bayi terdekat dan sejalan dengan tujuan.

Hampir tiga puluh menit gadis itu berada di tengah kemacetan. Setelah keluar dari sana, rasanya dia bisa bernapas lega. "That's why I never back home early. Make me depressed," ujarnya sambil mengganti gigi. Lancarnya jalan bersamaan dengan lagu Somebody To Love yang mengudara di radio. Barina menambahkan tingkat suara radio. Dia bernyanyi, menikmati perjalanan. Begitu cara dia menanggalkan lelah setelah seharian bekerja dan menikmati perjalanan di padatnya Ibu Kota. Lagu ini juga menggelitik kehidupannya yang mirip dengan beberapa liriknya.

I work hard every day of my life.

I work 'til I ache in my bones.

At the end, I take home my hard earned pay all on my own.

I get down on my knees and I start to pray.

'Til the tears run down from my eyes.

Lord, somebody (please) can anybody find me somebody to love?

Sesampainya di rumah sakit, Barina menuju ke ruang rawat inap. Nare sudah memberitahu nomor kamar tempat dia dirawat lewat grup. Di depan kamar Nare, Barina bertemu dengan Mili dan suami. Dia juga membawa anak semata wayangnya yang berusia tiga tahun.

"Sendirian, Bar?" tanya Mili sekaligus sapaan perjumpaan. Mereka belum bertemu lagi setelah pertengkaraan aneh beberapa hari lalu.

Barina mengangguk. Dia senang melihat sahabatnya akur dengan pasangannya. Pertengkaran dalam hubungan memang perlu sebagai bumbu. Dapat menambah ikatan dalam hubungan jika diselesaikan dengan bijak. Dapat pula menjadi bumerang jika mendahulukan keegoisan dan emosi semata. "Apa kabar, Ben?" sapa Barina kepada suami Mili. Gadis itu juga mendekati Arkan, anak Mili dan Ben yang mewarisi ketampanan ayahnya. "Hai jagoan Onti!" sapanya kepada Arkan.

"Hai, Onti!" sahut Arkan sambil menyalami dan mencium tangan Barina.

Tak lama pintu kamar 105 terbuka. "Kalian kenapa masih di sini?" tanya Alexa ketika mendapati kedatangan mereka. "Nare udah nungguin di dalam," lanjutnya.

"Baru juga sampai, kali," jawab Barina.

Alexa menyeringai. "Ya udah masuk, gih! Gue mau ke kantin dulu. Anak gue minta jajan."

Ketika pintu dibuka, mereka disambut. Di sana sudah ada Nurulia dan Yuda; Ranita, Pram dan ketiga anaknya; Karmila dan Darma; Asril dan orangtua Nare-Asril. Kebahagiaan memenuhi kamar itu. Hanya ada tawa di sana. Barina menoleh ke arah Nurulia. Dia memang tertawa tetapi Barina yakin, jauh di dalam hati Nurulia ada kesedihan. Dia merasa lega, ada Yuda yang merangkul istrinya sebagai kekuatan untuk mempertahankan dan menjaga keharmonisan rumah tangga.

"Nurulia kapan, nih?" Tiba-tiba pertanyaan itu membungkam tawa. Ruangan menjadi hening. Pertanyaan itu menusuk telinga Nurulia dan Yuda bahkan sukses membuat yang lain terkesiap, termasuk Nare.

"Apa, sih, Mama nanya begitu?" Tanpa menunggu jawaban dari Nurulia, Nare menepis pertanyaan dari ibunya.

"Doakan aja, Tante," jawab Yuda mewakili istrinya. Nurulia hanya menjawab dengan senyuman. Itu senyuman terpaksa.

Barina melihat Yuda menguatkan rangkulan di bahu istrinya. Sesekali dia membelai kepala wanita yang menemaninya selama lima tahun belakangan ini.

Jawaban Yuda hanya ditanggapi dengan senyuman oleh ibunya Nare. "Barina!" Kini beralih ke gadis itu.

Barina sontak menoleh. "Iya, Tante?"

"Kamu masih belum bawa gandengan?" Kini giliran Barina yang dihujam pertanyaan yang menusuk.

"Oh, ini gandengannya, Tan." Barina mengangkat kado yang tadi dia beli di toko bayi lalu diletakkan di atas sofa kecil yang ada di dalam kamar itu.

"Itu tentengan. Gandengan, Barina. Calon." Ibunya Nare memperjelas.

Percaya atau tidak, pertanyaan 'kapan punya momongan' lebih menyakitkan daripada 'kapan menikah' karena jika belum menikah bisa saja besok bertemu dengan jodohnya dan hasilnya terukur. Sedangkan, anak adalah keputusan mutlak dari Tuhan. Sebesar dan semahal apapun usahanya, tetap tidak bisa terukur. Hal itu yang membuat Barina tidak serapuh Nurulia dalam menyikapi pertanyaan memuakkan itu.

"Doakan aja, Tante," jawabnya disertai dengan senyuman yang diusahakan tulus namun sulit. Jawaban 'doakan aja' adalah jawaban standar yang bisa mengakhir pertanyaan menyebalkan itu tanpa ada yang tersakiti dan tidak berlanjut. Paling respon berikutnya adalah 'iya, didoakan semoga bla bla'. Memuakkan.

"Kalian mau liat anak gue, nggak?" tanya Nare memecahkan kecanggungan. Pertanyaan dia disambut antusias oleh sahabatnya. Mereka bersemangat ingin melihat seperti apa rupa anak yang beruntung mendapatkan orangtua seperti Nare dan Asril. "Ada di ruang bayi. Ke sana, yuk!" Asril membantu istrinya turun dari ranjang.

Letak ruang bayi tidak begitu jauh dari kamar Nare. Hanya terpisahkan beberapa kamar saja. Di sana terdapat beberapa bayi. Tidak begitu banyak. Hanya empat bayi. Nampaknya Nare beruntung karena hari lahirannya bukan hari yang banyak orang lahiran. Tidak terlalu sulit. Mereka hanya bisa melihat dari luar kaca ruangan. Bayi yang masih merah itu tertidur pulas. Damai sekali. Di tempat bayi itu tertulis nama kedua orangtuanya, Ny. Nare Chaniago dan Tn. Asri Rizky Akbar. Jenis kelamin bayi itu adalah perempuan.

Barina memperhatikan bayi mungil yang belum diberi nama itu. Tangannya dan kakinya mungil. Wajahnya mewarisi wajah Nare, alis tebal. Perlahan dia akan tumbuh menjadi gadis yang manis. "Cantiknya," lirih Barina tanpa sadar.

"Cepat nikah, lo!" sindir Alexa yang berdiri di sampingnya. Dia diberitahu ibunya Nare kalau mereka ada di sini.

Barina menyikut pelan pinggang sahabatnya. "Resek, lo!"

Alexa menyeringai. "Dia adalah sebuah kekuatan untuk mempertahankan rumah tangga di saat badai datang," ujar Alexa sambil menggendong Mike, anaknya yang sebentar lagi berusia tiga tahun.

Barina mencerna ucapan Alexa sejenak lalu mengangguk. Alasan ini juga yang membuat Mili harus berpikir ulang tentang keputusan cerai beberapa hari lalu. Anak adalah kekuatan di saat badai menghantam rumah tangga.

------------

Terima kasih sudah membaca

Selamat bermalam minggu

Salam,

Author

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang