12. Profesi dan Pribadi Urusan Yang Berbeda

3.9K 342 2
                                    

Halte Harmoni padat oleh mereka yang berusaha beradu nasib di ibu kota. Mereka berpenampilan rapih dan formal. Kemeja mereka menjadi pemandangan yang berwarna-warni. Langkah mereka pun terdengar cepat. Ada yang mengejar bus, ada pula yang baru keluar bus dan mengejar transportasi lain. Sepagi ini ibu kota sungguh padat dan nampak tak main-main.

Barina baru turun dari ojek online. Dia melintasi jembatan penyeberangan orang. Meskipun merasa sudah berjalan cepat, masih saja ada orang yang mendahuluinya. Barina sampai mengernyitkan dahi melihat kecepatan langkah orang-orang yang mendahuluinya. Berapa kilometer per jam kecepatan langkah mereka? Hal yang membuat gadis itu tidak merasa keberatan untuk menggunakan transportasi umum adalah dia bisa melihat pelbagai karakter orang kota.

Barina berhenti di sebuah antrian, antrian masuk. Di sini terlihat tingkat kesabaran masing-masing orang. Ada yang tidak sabar sehingga menghalalkan segala cara untuk memotong antrian. Ada pula yang patuh dan tertib demi kenyaman semua. Jenis orang yang pertama membuat Barina sebal. Apalagi jika memotong antriannya di depan gadis itu, rasanya tidak bisa menahan untuk menegur orang itu di depan umum. Anggap saja hukuman moral. Di ibu kota, hukuman moral lebih mempan daripada teguran secara prosedural. Para pelaku akan menciut dan malu jika sudah dipandang menyebalkan oleh orang sekitar.

Setelah melewati pintu masuk, Barina masih harus mengantri di jalur bus ke arah Blok M. Di sini antriannya lebih panjang dari sebelumnya. Barina memperhatikan aktivitas orang-orang di sekitar. Ada yang sibuk dengan ponsel, buku, koran, mendengarkan musik dengan earphone dan bermain aplikasi permainan di ponsel. Pemandangan yang lumrah. Waktu perjalanan adalah waktu yang pas untuk diri sendiri. Setelah mereka tiba di kantor, aktivitas itu ditanggalkan demi sebongkah berlian. Kembali tenggelam dengan rutinitas monoton yang membosankan namun harus dilakukan. Hari libur adalah hal yang sangat berharga bagi mereka. Itulah kenapa orang kota dicap individualis.

Bus datang bergantian dengan cepat, seakan siap mengangkut mereka semua. Selangkah demi selangkah, antrian memendek dan Barina sudah berada di dalam bus. Dia mengeluarkan earphone dan memasangkannya ke ponsel. Diselipkan kedua ujung earphone ke lubang telinga. Dia menyetel lagu Lemon Tree dari Fool Garden. Gadis itu mulai merasakan rileks dan siap beraktivitas di Senin yang sibuk, meskipun dua hari ke belakang dan tadi pagi adalah hari terberatnya. Matanya dilepaskan ke jalan, melihat lalu lalang kendaraan pribadi. Dari segi kenyamanan memang lebih nyaman dengan kendaraan pribadi di jam sibuk, tapi dari segi efisien, lebih efisien transportasi umum karena dia tidak perlu repot-repot menyetir dan parkir kendaraan.

Barina membuka ponsel dan membaca pelbagai pesan dari Doni di grup kantor. Salah satu pesan adalah pemberitahuan annual meeting dengan salah satu klien utama. Klien ini selalu memakai jasa perusahaan Doni dalam merancang struktur bangunan proyek mereka. Doni meminta Barina untuk menyiapkan dokumen yang dibutuhkan. Bagi Barina itu bukanlah pekerjaan yang susah. Dia paling tidak mau jika diajak meeting dengan klien. Apalagi jika disuruh presentasi. Bisa keringat dingin. Doni beberapa kali mengajak gadis itu meeting dengan klien namun selalu ditolak dengan segala alasan. Barina berani menolak karena dia posisi yang benar. Bukan job description Barina. Doni juga tidak pernah memaksa. Maksud lelaki itu mengajak Barina karena dia ingin gadis itu belajar jika suatu waktu tak ada orang yang bisa menggantikannya, dia percayakan ke Barina.

"Untung bukan di suruh meeting," lirihnya. Dia mengetik pesan balasan.

___________________________________________________
Barina : Baik, Pak.

Doni: Jangan lupa dokumen yang bulan lalu ditandatangan.

Barina: Noted.
___________________________________________________

Jangan bingung dulu. Doni memang punya sekretaris. Namanya Yuni. Tapi, entah kenapa untuk soal menyiapkan dokumen meeting dia kerap menyuruh Barina. Yuni pernah protes kepada Barina soal pekerjaan itu. Dia merasa atasannya tidak percaya kepadanya. Dengan susah payah, Barina menjelaskan karakter Doni dan berusaha mengingatkan atasannya. Sesekali Yuni memahami dan mencoba mengerti, namun atas nama profesional, Yuni tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, Yuni adalah sekretaris profesional. Hal semacam itu membuat dia merasa tidak dihargai.

___________________________________________________
Doni: Yuni, nanti kita meeting. Siapkan perjanjian kemarin.
___________________________________________________

Membaca pesan di atas, membuat Barina sedikit lega. Doni mulai mempercayai sekretarisnya. Masukan dari dia didengar juga. Yuni pun langsung merespon. Sepertinya sekretaris itu senang.

Bus berhenti di halte Sudirman. Pintu bus terbuka otomatis, mereka menyerbu keluar, termasuk Barina. Seketika bus menjadi longgar, hanya beberapa penumpang saja.

Setelah menuruni jembatan penyebrangan orang, Barina berjalan kaki bersama pekerja lain. Suara sepatu mereka menyemarakan pagi yang sibuk. Seperti ketukan drum.

Seseorang menepuk bahu Barina dari belakang. Gadis itu sontak terkesiap dan langsung melepaskan earphone. "Resek, lo!" kesalnya sambil membuang muka.

"Kaget, ya?" tanya Nura seakan tidak bersalah.

"Menurut lo?" Barina benar-benar kesal. Dia menambah kecepatan langkahnya. Jika dia punya kekuatan sihir seperti Hermione, ingin rasanya mengenyahkan perempuan menyebalkan satu ini dari muka bumi.

"Ekspresi lo kayak mau melenyapkan gue," gurau Nura.

Emang.

"Jangan, Bar! Jangan!" Nura masih saja bercanda.

Barina semakin kesal. Bukannya minta maaf malah dibecandain, lagi.

"Pagi, Mbak Barina, Mbak Nura," sapa Sapto, satpam gedung tempat kantor mereka berada.

"Pagi, Pak Sapto," sapa balik Barina datar.

"Pagi, Pak Sapto," sapa Nura riang.

"Lo bawa sarapan, Bar?" tanya Nura. Sebenarnya Nura ingin dekat dan menjadi sahabat Barina tapi terlalu sulit sebab Barina tidak pernah ramah kepada Nura. Barina tipikal karyawan yang serius sedangkan Nura tipikal karyawan yang terlalu santai. Perbedaan itu yang kerap membuat Barina kesal dengan cara kerja Nura.

Barina tidak menjawab pertanya Nura.

"Kamu bawa sarapan, Nura?" suara lelaki menyambar seenaknya dari belakang mereka.

Kedua gadis itu memutar badannya. "Pagi, Pak Doni!" sapa Nura canggung.

"Pagi, Nura. Pagi Barina." Doni menyapa Barina meskipun gadis itu tidak menyapanya duluan. Hari ini hatinya tengah bahagia. Jadi, sedatar apapun ekspresi Barina, tidak mempengaruhi harinya.

Lift terbuka. Mereka menyambar masuk. Penuh dan sesak. Barina merasa salah tingkah ketika berada di depan Doni. Tubuhnya yang tinggi membuat Barina bisa merasakan hembusan napas lelaki itu di kepalanya. Untung Nura tidak menyadarinya. Kalau sadar, bisa heboh sejagad raya.

Keluar dari lift, Barina membiarkan Doni jalan duluan. Dia berusaha mengembalikan nyawanya yang tersangkut . "Sadar, Bar! Dia udah punya calon! Ingat, Bar! Say no to be third wheel!" Barina bersandar sebentar. Gila, saking tertekannya gue disuruh nikah, sampai calon laki orang mau gue embat juga. Duh, Bar, lo kayak nggak laku aja.

Nura merasa aneh melihat tingkah laku rekan kantornya. Tidak seperti biasanya. "Kenapa lo?"

"Kesemutan. Udah sana masuk duluan!" elaknya.

--------
Jangan mau jadi orang ketiga, ya, kawan!

Terima kasih sudah membaca.

Salam,

Author

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang