2. Zona Nyaman Harus Diakhiri

7.9K 570 6
                                    

Sepulang kerja, Barina segera menancapkan mobilnya menuju rumah sakit. Di sana sudah menunggu kedua orangtuanya. Sebelum pulang, gadis itu harus membayar sisa tagihan perawatan selama di rumah sakit.

"Maafin Bapak, ya, Nak," ucap Bantara, bapaknya Barina ketika sudah di dalam mobil menuju rumah. Jarak rumah sakit dan rumah tidak begitu jauh.

"Kenapa minta maaf, Pak?" Barina melirik Bantara dari kaca dashboard.

"Gara-gara Bapak, kamu jadi kerepotan. Uang kamu jadi habis."

Barina senyum. "Bapak ngomong apa, sih? Bari kerja, ya, buat Bapak dan Ibu juga. Seharusnya Bari yang minta maaf belum bisa jadi anak yang bisa diandalkan." Gadis itu memutar stir untuk masuk ke dalam komplek perumahannya.

"Makasih, ya, Nak."

"Sama-sama, Bapak." Di waktu bersamaan, mobil Barina tiba di depan rumah. Barina segera turun dan membantu Bantara keluar dari mobil.

"Biar Ibu aja yang bawa Bapak. Kamu masukan mobil ke garasi," perintah Marina, ibunya Barina.

"Iya, Bu." Tanpa bantahan, Barina segera membuka pagar dan memasukkan mobil ke dalam garasi rumah.

Bantara dan Marina sudah seminggu di Jakarta untuk menjenguk anaknya. Namun sayang, ketika baru dua hari tiba di Jakarta, tiba-tiba Bantara mengeluhkan sakit di perut kiri bawah. Barina dan ibunya panik. Mereka langsung membawa Bantara ke rumah sakit dekat rumah.

"Bar, nanti Ibu mau ngomong sama kamu," ujar Marina setelah merebahkan suaminya di kamar.

"Iya, Bu."

Barina masuk ke dalam kamar untuk bersih-besih. Sedangkan, Marina menyiapkan makanan untuk suaminya.

Di dalam kamar, Barina tidak langsung mandi. Dia duduk di sisi ranjang. Tatapannya lurus ke jendela. Rumah yang tidak begitu besar ini memiliki taman kecil di belakang kamar gadis itu. Rumah ini sangat berarti bagi gadis berusia tiga puluh itu. Dia membeli rumah ini dengan susah payah mengumpulkan gaji sejak lulus kuliah.

Dulu, Barina tidak seperti sekarang. Dia termasuk salah satu orang di dunia ini yang takut berhutang. Makanya, dia bersusah payah mengumpulkan penghasilannya demi membeli rumah yang nyaman. Namun sayang, tempat dia bekerja sebelum di perusahaan Doni mengalami pengurangan karyawan. Salah satunya Barina. Mendengar kabar itu, Doni menawarkan untuk bekerja di perusahaannya. Memang, perusahaan Doni bukan perusahaan besar seperti perusahaan tempat Barina bekerja sebelumnya.

Barina bangkit dari ranjang lantas mendekati home theater yang terletak di samping televisi. Dia menyalakan musik. Nampaknya, gadis itu butuh penyegaran otak. Lagu pertama yang dimainkan adalah Take A Chance On Me. Bibirnya mulai bergerak menyanyikan lagu dari ABBA. Barina pernah memiliki band sewaktu SMA, beranggotakan tiga perempuan satu laki-laki. Dia menjadi gitaris sekaligus vokalis. Ketika lulus kuliah, dia tidak pernah lagi bermain gitar. Selain gitarnya sudah rusak dan belum beli lagi, dia pun tak banyak waktu untuk itu. Waktunya habis untuk kerja, kerja dan kerja. Sebagai anak semata wayang, dia memiliki banyak mimpi yang harus diperjuangkan sendiri, terutama mimpi kedua orangtuanya yang ingin sekali haji.

Harapan setiap anak adalah membahagiakan kedua orangtuanya. Melihat kedua orangtuanya senang di hari tuanya sudah cukup buat Barina. Selama tiga puluh tahun dia hidup tanpa adik dan kakak, mau tak mau kebahagiaan kedua orangtuanya ada di bahunya.

Barina memiliki enam orang sahabat. Mereka adalah Nare Chaniago, si wanita Minang yang sangat bangga dengan budayanya; Karmila Nisa, wanita berdarah Sunda yang susah sekali menghilangkan aksen Bandungnya; Alexa Nelson Crumb, wanita yang berdarah Amerika-Jerman yang tinggal di Jakarta sejak enam belas tahun; Mili Satia, wanita pecinta alam yang gemar naik gunung; Ranita Sakti Putri, wanita yang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga; dan Nurulia, wanita yang paling solehah di antara mereka bertujuh.

Sebenarnya dia iri dengan keenam temannya yang sudah bahagia dan hidup nyaman dengan keluarga barunya. Kalau berkumpul, mereka tak pernah lupa untuk saling membicarakan suami dan anak-anaknya. Halusnya, saling bertukar pengalaman. Barina cuma jadi pendengar setia teman-temannya. Positifnya, dia bisa banyak belajar tentang pernikahan dari mereka. Meskipun dia satu-satunya yang belum menikah, keenam temannya tidak pernah bertanya kapan nikah ataupun tentang calon. Mereka membebaskan Barina karena mereka sangat mengenal karakter Barina. Dia akan cerita jika ingin cerita dan tidak akan cerita jika ingin disimpan sendiri. Meskipun sahabatnya itu sudah berkeluarga, Barina tidak pernah merasa kehilangan sahabatnya. Mereka selalu terbuka jika Barina butuh mereka kapan saja. Apalagi suami mereka sudah sangat mengenal Barina dengan baik.

"Barina!" seru Marina di balik pintu kamar anaknya.

Mendengar seruan ibunya, gadis itu langsung mengecilkan suara home theater lantas membuka pintu kamar. "Iya, Bu."

"Bisa bicara?"

"Bisa. Masuk, Bu!" Barina membiarkan pintu kamarnya terbuka. Barina mematikan home theater-nya lalu duduk di atas kasur. "Bapak udah tidur?"

"Sudah," jawab Marina sambil duduk di samping anaknya. "Bar, mohon maaf sebelumnya kalau Ibu tanya ini ke kamu. Ibu tau kalau kamu enggak suka Ibu bicara ini. Ibu juga sebenarnya enggak maksa kamu ...." Perkataan Marina dipotong anaknya.

"Mau bicara apa, Bu? Bilang aja! Bari enggak apa-apa, kok."

"Kamu lihat sendiri kondisi Bapak yang mulai sakit-sakitan. Kami ini sudah tua. Kamu anak kami satu-satunya. Melihat kamu bahagia, kami senang. Tapi, ada yang buat kami sangat senang. Bisa lihat kamu jadi pengantin." Marina bicara sangat hati-hati dan lembut. Dia takut anaknya menanggapi dengan salah paham.

Barina tidak menjawab. Matanya mengunci bola mata ibunya. Sesekali dia menyapu wajah ibunya yang mulai ada keriput di beberapa bagian. Dia sadar bahwa zona nyamannya selama ini harus segera diakhiri. Barina tidak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya datar.

"Kamu marah, ya, sama Ibu? Ibu, kan, udah minta ..."

"Bari enggak marah sama Ibu. Mana bisa anak marah sama orangtua? Bari cuma kaget. Selama ini Ibu dan Bapak enggak pernah bahas soal pernikahan. Bari kira, Ibu dan Bapak enggak mempermasalahkan. Ternyata, Bari salah. Ibu dan Bapak diam-diam mengawatirkan Bari," Barina menghela napas panjang, "Terima kasih Ibu dan Bapak sudah mengawatirkan hidup Bari, tapi Bari masih nyaman begini. Saat ini prioritas Bari adalah kesehatan Bapak, Ibu dan mewujudkan mimpi kalian, naik haji. Cuma itu, Bu." Barina menggenggam tangan Marina. Dia sangat sayang kepada orangtuanya.

Mata Marina sudah mulai berkaca-kaca. Air matanya hampir tumpah ke pipinya yang sedikit keriput. "Maafin Ibu, ya, Bar. Ibu egois." Dia menangis.

Barina mengusap pipi Marina. Dia menghapus air mata ibunya. "Bari yang harus minta maaf sama Ibu dan Bapak karena belum bisa mewujudkan keinginan kalian. Bari belum bisa membahagiakan kalian." Sebenarnya dia juga ingin menangis. Bukan karena terbawa suasana melainkan hatinya menjerit karena ditanya soal pernikahan.

"Ya, sudah, Ibu tidur dulu. Kamu kalau mau teh, sudah ibu buatkan di dapur." Marina keluar kamar. Sebelum menutup pintu kamar, dia berbalik badan. "Omongan Ibu tadi jangan dipikirin, ya, Bar! Anggap aja Ibu tadi nggak bilang apa-apa." Marina menutup pintu kamar anaknya tanpa menunggu jawaban dari anaknya.

Marina diam sejenak di antara keheningan. Gimana enggak dipikirin. Gumam Barina. Dia menjatuhkan badannya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang terbias cahaya lampu luar. "Anak macam apa gue yang bikin Ibu nangis," lirihnya.

Barina menyetel home theater-nya lagi dengan suara pelan lantas beranjak ke kamar mandi. "Kayaknya mandi bisa buang pikiran negatif gue." 

----------

Halo! Ada yang pernah ditanya seperti itu sama orangtua? Rasanya gimana gitu, ya. 😐

Terima kasih sudah membaca.

Salam,

Author

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang