4. Menikah Bukan Sekedar Cinta

5.9K 493 14
                                    

Pernikahan itu bukan sekedar cinta tapi juga saling memahami dan memberi ruang privasi. Saling percaya adalah kunci suatu hubungan.

Barina tiba di depan rumah Mili. Ketika dia hendak menekan nomor Mili untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah tiba di depan rumahnya, pemandangan menyedihkan melintas di depan mata. Dia melihat Mili dan Ben tengah bertengkar hebat di teras rumah. Barina melihat tetangga Mili ikut menonton pertengkaran rumah tangga mereka. Ini memalukan. Barina tidak mengerti, kenapa sepasang suami istri harus bertengkar di hadapan orang banyak? Apa tidak bisa dibicarakan berdua di dalam rumah tanpa saling bicara lantang dan bentakan? Seolah ingin menunjukkan siapa yang paling benar dan kuat. Pemandangan itu membuat Barina merinding. Ini aib mereka.

Hal ini juga yang membuat dia takut untuk menikah. Bagaimana bisa sepasang manusia yang sebelumnya berjanji untuk saling mencintai dan membahagiakan, sekarang menjadi musuh dalam selimut. Tidak ada lagi perkataan penuh cinta dan kasih sayang, yang ada penuh kebencian dan amarah.

Barina masih menontoni pertengkaran sahabatnya dari dalam mobil. Sebenarnya, dia ingin turun dan meminta dengan sopan kepada para tetangga untuk berhenti menonton pertengkaran ini. Namun, banyak pertimbangan yang memaksa dia untuk diam di dalam mobil:
Pertama, Barina takut Mili malu kepadanya karena melihat pertengkaran mereka,
Kedua, Barina takut Ben merasa risih dengan kedatangannya dan malah membencinya. Meskipun jika suatu hari nanti Mili dan Ben terpaksa bercerai, Barina ingin pertemanan mereka tidak ikut rusak,
Ketiga, jika Barina turun dan dilihat oleh para tetangga, dia takut mereka menganggapnya sebagai orang ketiga.
Alasan terakhir yang paling ngeri.

Di saat Barina tengah menimbang-nimbang, nampaknya Mili menyadari kedatangan sahabatnya. Dia mengenali mobil Barina dengan baik. Dengan sekali sentakan Ben sambil menunjuk Mili di depan wajah, membuat wanita itu diam dan menangis lalu berlari ke mobil Barina. Dia mengetuk kaca mobil Barina dengan kesal. Barina terkejut mendapati Mili sudah ada di samping mobilnya. Dia membuka kunci pintu mobil dan Mili masuk dengan wajah sembab. Barina mengamati wajah sahabatnya dari dekat. Mili belum berias sama sekali, masih menggunakan kaus rumah, sandal jepit dan tidak membawa tas. "Mili, lo nggak bawa tas?" tanya Barina hati-hati.

"Jalan, Bar! JALAN!" pintanya dengan nada meninggi.

Barina kaget dengan lekingan suara Mili. Mungkin ini alasan Ben terpancing, karena istrinya bicara lebih lantang dari dirinya. "Iya, gue jalan." Barina menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan rumah Mili. Dia masih bisa melihat para tetangga memperhatikan mobilnya sampai menghilang. Entah apa yang dipikirkan mereka tentangnya. Terserah, asal jangan dianggap orang ketiga saja. Gumamnya.

Di perjalanan, Mili hanya menangis. Kotak tisu di mobil Barina mulai menipis. Dia agak risih dengan tisu yang berserakan sampai ke lantai mobil. "Mil, tisunya dikumpulin, kek, jangan asal lempar sana-sini." Barina mencoba membuat sahabatnya meredakan tangis.

"Lo nggak nyaman?" tanyanya disertai tangis.

"Bukan nggak nyaman, cuma nggak enak aja dilihat berantakan gitu. Emang lo mau pungutin satu-satu nanti?" Barina memutar stir mobil ke gerbang komplek perumahan Nare.

"Iya, nanti gue pungut. Puas, lo?" Mili menarik ingus yang mulai menyulitkannya bernapas.

Barina menyeringai geli melihat sahabatnya yang biasa tangguh berubah seratus delapan puluh derajat. Memang, siapapun bisa saja menangis, apalagi ini masalah hati. Lelaki berbadan kekar sekalipun akan menjadi cengeng kalau hatinya terluka.

Barina memarkirkan mobil di depan rumah Nare. Terlihat mobil Alexa dan Ranita pun sudah terparkir. "Nangisnya nanti aja diterusin! Udah sampai ini." Barina melepaskan seatbelt disertai membuka pintu mobil. "Ayo turun! Jangan lupa pungut tisunya!" lanjutnya sambil menutup pintu. Barina menunggu Mili keluar. Padahal dia hanya bercanda untuk meminta memungut bekas tisu, tapi Mili menganggapnya serius. Memang, orang kalau lagi galau, susah untuk diajak bercanda. Semua dianggap serius. Barina tersenyum melihat Mili keluar mobil dengan tisu menumpuk di tangannya.

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang