Barina tiba di rumah saat matahari perlahan kembali ke peraduan. Tanpa terasa dia meninggalkan rumah selama setengah hari dalam kebimbangan. Ketika keluar dari mobil, Barina mendapati Barata tengah duduk di teras sambil membaca buku. Kacamata tebal bersandar di batang hidung lelaki itu. Terlihat tua jika mengenakan kacamata. Usianya yang hampir tujuh puluh tidak begitu nampak dari perawakannya. Hanya rambut yang memutih.
"Sudah pulang, Bar?" tanya Barata. Dari suara, dia terdengar sudah kembali sehat.
"Seperti yang Bapak lihat." Barina melontarkan senyuman lalu duduk di kursi samping Barata. Mereka berdua menatap halaman yang terbias cahaya sore. Meski tak begitu hangat, kehadiran Barata cukup membuat Barina hangat.
Pernah dengar kenapa anak perempuan cenderung lebih dekat bapaknya? Karena dari seorang bapaklah dia bisa merasakan terlindungi, aman, nyaman dan hangat. Meskipun hal itu juga bisa didapatkan dari ibu namun rasa yang didapatkan berbeda. Itulah yang mebuat Barina tidak pernah memiliki hubungan serius dengan seorang lelaki, karena dia sudah cukup merasakan aman, nyaman dan hangat dari Barata. Bahkan, menatap wajah keriputnya saja sudah membuat teduh. Kewibawaan dan kharisma yang terpancar dari seorang bapak tidak dapat dijelaskan begitu detail dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan.
"Ibu mana, Pak?" tanya Barina membuka pembicaraan.
"Ada di dalam," jawabnya sambil terus membaca buku.
Barina menoleh. Dia melihat buku yang dibaca Barata. Dia tersenyum. Kegemaran membaca memang menurun dari Barata. Sewaktu kecil, saat usia lima tahun, Barata mengajak gadis itu ke toko buku. Hanya berdua. Lelaki itu ingin membelikan hadiah ulang tahun untuk anak semata wayangnya. Dia bukan lelaki yang sangat memahami anak dan istri namun dia tahu yang terbaik untuk kedua wanitanya. Saat itu, adalah kencan pertama Barina. Tangan mungilnya selalu digenggam Barata. Jika dia lelah berjalan, lelaki itu tidak pernah menolak untuk menggendongnya. Barina tersenyum mengingat kenangan itu. Dia rindu.
Matanya beralih ke tangan keriput Barata. Tangan itu yang selalu mengirim kehangatan dan rasa aman untuknya. Tangan itu juga yang kerap memeluknya setiap dia merasa takut. Tangan itu juga yang selalu menghapus air matanya. Terlalu banyak kenangan yang tercipta antara dirinya dan Barata. Dulu, tangan itu begitu gagah dan kuat. Barina senang jika sudah menggenggam tangan itu.
Kini matanya beralih ke wajah Barata yang tetap berkharisma. Meskipun sudah ada bentuk penuaan, gadis itu tetap menyukainya. Bola mata Barina seakan mengunci wajah Barata. Dia malu karena belum bisa memenuhi keinginan orangtua untuk menikah. Dia tahu bahwa keinginan itu bukan datang dari Marina semata. Dia tahu betul bahwa kedua orangtuanya selalu berdiskusi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Barina yakin di dalam hati Barata ada keinginan yang sama, hanya saja tidak mampu diucapkan. Sebab, hubungan mereka begitu dekat.
Barata merasa diperhatikan oleh anaknya. Dia mengangkat wajahnya lalu menoleh. Mata mereka beradu. Dari tatapan itu, Barata bisa merasakan kegundahan hati anaknya. Mau bagaimana lagi, kali ini dia tidak bisa membantu anak gadisnya untuk mengambil keputusan. Ini kehidupan Barina, dia pula yang harus memutuskan. "Ada apa, Bar?" tanyanya memecahkan pandangan Barina.
Barina tersadar. "Enggak apa-apa, Pak. Barina masuk dulu, Pak." Gadis itu bangkit dari kursi lalu masuk ke dalam rumah.
Barata menutup buku lantas melepas kacamata tebal. Matanya menyapu halaman rumah yang perlahan kehilangan bias kehangatan matahari. Senja mulai memudar. Bulan sudah mulai menampakkan diri. Barata memijit kening yang tidak pusing. Ada rasa kasihan melihat anak semata wayangnya tertekan, namun dia tak dapat berbuat apa-apa jika sang istri sudah bertindak. Paling, hanya bisa menenangkan. Di sini dia berusaha senetral mungkin agar tidak menjadi panas meski keinginan dia pun sama dengan istrinya. Barata bangkit dari kursi lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Barina merebahkan badan di atas kasur. Badannya terasa lelah, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Hanya ke rumah Nare dan ke toko buku, tapi kelelahannya melebihi hari kerja. Ada yang bilang, banyak pikiran sangat melelahkan daripada banyak kerjaan. Kerja membutuhkan aktivitas fisik meskipun kinerja otak juga diperlukan, namun hanya beberapa persen saja. Sedangkan, banyak pikiran membutuhkan kinerja otak yang maksimal dari biasanya. Otak yang terus bekerja, lama-kelamaan akan merasa lelah dan kelelahan itu menjalar ke seluruh tubuh lewat aliran darah, saraf bahkan otot-otot pun ikut merasakan. Makanya, jika tubuh sudah tidak sanggup, otak seolah meledak dan mengalami gangguan. Ini yang mengakibatkan awal dari gangguan kejiwaan. Oleh karena itu, penyembuhan penderita gangguan kejiwaan lebih sulit dari sakit batuk dan pilek. Barina tidak ingin mengalami itu. Tapi, dia belum menemukan jalan keluar dari permasalahannya. Tidak mungkin dia datang ke psikiater hanya untuk konsultasi mengenai pernikahan. Ini terdengar konyol. Menikah saja belum, sudah stres dengan pernikahan. Barina menertawakan dirinya sendiri.
Gadis itu memejamkan mata untuk merileksasi kepala yang mulai pusing. Dia tidak ingin gila. Sayup-sayup terdengar panggilan Tuhan. Dia resapi panggilan itu dengan segala kemampuan panca indera dan energi yang tersisa. Sejuk dan tenang. Selama ini dia lupa bahwa ada Sang Penolong yang siap menolongnya kapan saja jika diminta. Perlahan sayup-sayup itu menghilang. Barina membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya menyiratkan sebuah harapan dan percaya diri. Dia bangkit dari kasur dan bergegas ke kamar mandi.
Di dalam sujudnya dia memohon untuk kemudahan. Di setiap gerakannya dia meminta pertolongan. Di dalam tangan yang menengadah dia merasa kerdil dan tak ada apa-apanya. Dia membutuhkan petunjuk. Dari setiap masalah yang menimpa manusia, semua datang dari diri kita sendiri atas izin Tuhan. Maka, mintalah pertolongan hanya kepada Tuhan.
Tidak terasa Barina menitikkan air mata. Dia merasa rapuh dan tidak berguna. Dia juga merasa tidak bisa membahagiakan kedua orangtua. Hanya mereka yang paling berharga. Meskipun desakan itu terasa menyebalkan, Barina tetap sangat mencintai kedua orangtuanya. Dia menangis dalam doa. Isakannya terdengar lirih. Saat ini bukanlah Barina yang tangguh tapi Barina yang rapuh. Setangguh apapun manusia, ada kalanya dia merasa rapuh di hadapan Tuhan.
---------
Barina tidak setangguh yang kita bayangkan.Terima kasih sudah membaca
Tetap yakin.
Salam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Thirty Sucks
Chick-LitTAMAT Rank #1 of hashtag 30: 6 - 19 Feb 2019 1 - 12 Mar 2019 19-26 Mar 2019 30 Sep-3 Okt 2019 19 Jun - 1 Juli 2020 11 Nov - 5 Des 2021 12 Des - 31 Des 2021 1-2 April 2024 Rank #1 of hashtag engagement 9 - 13 Aug 2020 6 - 7 Des 2020 25 May 2021 - 20...