14. Pantas Untuk Dipercayakan

3.6K 337 5
                                    

Jam pulang kantor membubarkan karyawan. Daerah Sudirman kembali diramaikan dengan hiruk pikuk pekerja. Mereka tak sesegar pagi hari. Wajahnya kusut. Langkahnya lunglai. Di antara dari mereka mungkin ada yang lagi pusing karena kerjaan yang salah, dimarahi atasan, bahkan mungkin baru saja mendapatkan pujian. Tidak ada yang tahu nasib pekerjaan kita ke depan. Sudah bekerja dengan baik pun ada kemungkinan disalahkan. Adapula, mereka yang kinerjanya tidak baik namun pandai bersilat lidah, bisa mendapatkan pujian. Dunia kerja di ibu kota memang kejam. Lebih kejam dari ibu tiri.

Barina masih berkelut dengan pekerjaan di saat karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Hanya lampu dia dan ruangan Doni yang masih menyala. Doni keluar ruangan untuk mengecek karyawan. Tak ada yang masih di kantor selain Barina. Lelaki itu menghampiri dia. "Belum pulang, Bar?"

"Belum, Pak," jawabnya sambil menekan kalkulator. Matanya fokus ke layar komputer yang menampilkan deretan angka.

"Kamu lagi mengerjakan apa?" tanya Doni sambil melihat layar komputer Barina.

"Pajak, Pak."

Doni mengangguk. "PPh 21, ya?"

"Iya, Pak." Barina menjawab singkat.

"Kamu lembur kalau mengerjakan pajak." Doni berusaha untuk menemani gadis itu.

Barina tak menjawab. Jemarinya sibuk menekan tombol kalkulator dan matanya tetap fokus.

Doni merasa gadis itu tidak ingin diganggu. Dia kembali ke ruangan, melanjutkan memeriksa pekerjaan enginer.

Setengah jam berlalu. Akhirnya Barina menyelesaikan laporan PPh 21 untuk dilaporkan esok hari. Dia merenggangkan tubuh yang terasa kaku. Dia pun melakukan gerakan yoga.

Mendengar suara Barina, Doni keluar ruangan. "Udah selesai, Bar?" tanyanya.

Barina menoleh ke lelaki itu. Dia berdiri dengan kemeja dikeluarkan. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana. Lengan baju dilipat sampai siku. "Udah, Pak."

Doni mengangguk lalu kembali ke ruangan. Tak lama dia kembali dengan dua kaleng minuman di tangannya. "Mau temani saya ngobrol di roof top?"

Barina tak langsung menjawab. Dia memikirkan dampak baik buruknya.

"Sebentar aja," ucap lelaki mencoba meyakinkan Barina.

Barina kembali berpikir. Mungkin nggak masalah kalau bentar, kali, ya. Gue juga lagi suntuk di rumah. Otak gue juga capek. "Ya udah. Saya beresin meja dulu."

"Oke." Doni kembali ke ruangan mengambil sesuatu.

Barina mengakhiri kegiatan beres-beres meja dengan mematikan komputer dan lampu. Dia meraih tas lalu berdiri di depan pintu ruangan Doni.

Lelaki itu keluar sambil menenteng kantong plastik.

Barina mengerutkan kening melihat tentengan itu. "Bawa apa aja?"

Doni mengangkat kantong plastik. "Minuman kaleng dan kacang asin. Dulu waktu SMA kita sering makan kacang asin pas selesai rapat OSIS." Dia tertawa. "Ingat?"

Barina tersenyum. Enggak mungkin gue nggak ingat. Barina mengangguk.

"Yuk!" Doni melangkah lebih dulu setelah mematikan lampu ruangan dan mengunci pintu. Dari belakang Barina mengikutinya.

Mereka duduk selonjor di roof top. Tidak peduli kotor atau tidak. Doni membuka minuman kaleng untuk Barina dan untuknya. Kemudian, membuka bungkusan kacang asin, dimakan satu-persatu.

Mereka hening sesaat. Hanya suara kerongkongan yang mendorong minuman masuk ke dalam perut, suara bungkusan kacang yang nyaring dan suara kulit kacang yang terbelah dua. Langit malam itu sangat cerah. Bintang bertebaran. Bulan pun terang menerangi malam yang ramai.

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang