Thirty Sucks

33. Ketakutan Barina

Kafe yang terletak di daerah Cilandak itu didekorasi begitu menarik. Lampu-lampu kuning, putih dan biru menghiasi area taman yang lumayan luas. Dekorasi bertema biru. Di salah satu pojok paling belakang terdapat panggung. Ada lima meja bulat yang diletakkan dua di sisi dekat panggung, dua lagi dekat pintu masuk, dan satu di tengah. Dua meja di masing-masing sisi ditata beberapa kue; kopi dan teh. Meja tengah diletakkan sirup pelbagai rasa dan potongan buah. Tak ada area duduk di taman itu. Bisa dibilang acara reuni ini memiliki konsep standing party. Selain area taman, bagian teras kafe dekat taman terdapat kursi dan meja, properti kafe seperti biasa jika tidak ada booking event. Di acara ini bebas mau berdiri dan duduk di mana saja selama di area outdoor, sebab area indoor tetap diperuntukkan untuk operasional kafe seperti biasa. Pintu masuk ke acara ini pun bukan lewat pintu utama kafe, melainkan lewat yang biasa menjadi area parkir. Khusus untuk booking event, pagar dibuka dan menjadi pintu masuk, jadi tidak mengganggu operasional kafe. Untuk parkir sudah diantisipasi oleh panitia di pelbagai spot dekat kafe jika di depan sudah penuh.

Barina tidak menyangka dekorasinya semanis ini. Pantas aja tema kostumnya biru. Dari meja makanan dekat panggung, Ranita, Mili, Nare, Karmila dan Nurulia sudah berkumpul berserta keluarga kecil mereka. Alexa menggapai tangan ketika menyadari keberadaan mereka, sedangkan Barina masih terkesima dengan dekorasi. Dia teringat Mega yang ingin sekali memiliki pesta pernikahan berkonsep outdoor. Dia membayangkan jika dekorasi ini diubah menjadi merah muda, pasti Mega senang sekali. Pikirannya tersadar ketika Alexa mengajak ke tempat sahabatnya berkumpul.

Satu persatu alumni SMA Pertiwi datang. Meskipun reuni lima angkatan, mereka nampak membaur. Mereka terdiri dari angkatan 2004 sampai dengan angkatan 2008. Barina dan sahabatnya merupakan angkatan 2006, sedangkan Doni angkatan 2005. Selain dengan sahabatnya, Barina juga membaur dengan kawan seangkatannya, begitu pula dengan Doni.

Lelaki itu terkenal saat sekolah. Ternyata, kepopulerannya tetap terasa hingga sekarang. Terbukti dari penyambutan saat lelaki itu datang. Bagaimana tidak, selain atlit basket, dia juga aktif di organisasi kesiswaan. Namun, Doni sekarang tidak lagi bersikap berlebihan seperti saat SMA. Dulu, setiap bertemu dengan perempuan, dia mengumbar senyum. Kini, dia bersikap layaknya lelaki dewasa yang menjaga sikap, apalagi ada yang mengawasi.

"Hai, Doni!" sapa lelaki berbadan tegap yang tidak kalah tampan.

"Hai, Bang Agra! Apa kabar?" Agra adalah kakak kelas Doni satu tingkat di atasnya. Dia juga ketua OSIS periode 2003. Saat itu dia masih kelas dua SMA, sedangkan Doni kelas satu. Dulu, Doni lumayan dekat dengan Agra. Sejak Agra masuk kuliah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Hanya tahu kabar dari media sosial saja, itupun jarang sekali bertegur sapa.

"Baik. Hebat sekarang, ya, sudah jadi bos." Agra menepuk bahu Doni.

"Cuma nerusin usaha bokap." Mata Doni berpindah ke wanita yang digandeng Agra.

Seakan tahu maksud Doni, Agra pun mengenali wanita itu. "Ah, iya. Ini Maudi."

Wanita itu hanya tersenyum, dibalas Doni. "Istrimu?"

Agra tidak menjawab. Dia hanya tersenyum lalu menoleh ke wanita di sampingnya.

Doni mencoba memahami senyuman mereka, meskipun tidak tahu pasti arti dari senyuman mereka itu. "Hebat sekarang jadi Pemred, ya," puji Doni.

Agra mengibas tangan sekali sambil tertawa. "Sudah menikah?"

Doni diam sejenak. Dia tidak mungkin mengatakan tentang kegagalan pernikahan pertamanya yang tidak diketahui siapapun selain keluarga. Dia menggeleng disertai senyuman.

Agra hanya mengangguk.

Mereka bicara beberapa saat, sekedar melapaskan rindu dengan organisasi yang pernah dilalui bersama. Beberapa kali tawa mereka pecah. Wanita di samping Agra hanya mengulum senyum sambil menyapu pandangan. Agra pun pamit untuk bergabung dengan teman-temannya satu angkatan. Doni menyilakan.