43. Sebuah Jawaban

3.2K 296 11
                                    

Mobil camry hitam tiba di depan rumah Doni di kawasan Kemang. Mereka disambut oleh Doni dan keluarga di depan pintu. Doni menggunakan kemeja putih berlengan panjang yang dilipat hingga sikut serta celana coklat panjang. Lelaki itu terpana dengan kecantikan Barina sesaat gadis itu keluar dari mobil. Sepatu behak tujuh senti membuat kakinya terlihat panjang dan semampai. Dress putihnya memancarkan aura kebahagiannya. Bukan hanya Doni yang terkesima dengan penampilan Barina, Nita dan Darma pun ikut terkesima. Nita menyikut lengan putranya dan berkata, "calon istri kamu cantik." Lain hal dengan Darma yang berkata, "pantasan Doni ngebet minta dilamar segera." Wajah Doni memerah digodai oleh kedua orantuanya.

Mereka mengajak Barina dan keluarga masuk. Sedangkan, Doni mengizinkan Bono untuk pulang setelah menjabat tangan lelaki itu dan mengucapkan terima kasih. Barina yang mengikut para orangtua dari belakang, menoleh sesaat melihat Doni dan Bono bicara. Dia pun melihat Bono meninggalkan rumah mewah itu. Doni menyadari bahwa Barina memperhatikan mereka. Dia berlari kecil mendekati Barina, kemudian jalan beriringan.

"Pak Bono disuruh pulang?" tanya Barina.

"Iya." Doni memasukkan tangan ke dalam saku celana.

"Nggak enak ngerepotin dia."

"Udah biasa. Selain supir kantor, dia juga supir pribadi," jelas Doni.

"Double, dong, gajinya."

"Ya, gitu, deh. Lagi pula, dia supir yang paling loyal. Susah cari supir kayak gitu."

Barina mengangguk bersamaan tiba di depan meja makan panjang. Meja kayu jati yang terbilang panjang dengan delapan kursi dan ukiran mewah menghiasi setiap pinggiran meja dan kursi. Kursi kayu jati dibaluti bantalan berwarna krem yang empuk dan nyaman jika duduk di atasnya. Interior ruang makan itu didominasi warna kayu, sangat nyaman dan hangat. Di tengah meja, melintang kain panjang keemasan yang menambah penampilan mewah. Di atasnya tertata beberapa sajian dari makanan pembuka, utama hingga penutup serta dua teko besar berbahan kaca bening yang masing-masing berisikan air putih dan sirup cocopandan. Di luar dari kain keemasan, tertata pula kain segiempat berwarna senada yang diletakkan di bawah masing-masing piring yang masih terkelungkup. Di samping piring mewah keramik putih dengan hiasan bunga itu, diletakkan dua jenis gelas Luminarc, old fashioned glass dan wine glass. Barina melihat tataan meja makan itu sudah seperti tataan restoran mewah.

Nita menyilakan mereka duduk. Obrolan pembuka pun dilakukan oleh Barata. Maksud dan tujuan disampaikan Barata dan disambut oleh Darma. Akhirnya, tibalah di pokok tujuan pertemuan ini.

"Sekarang, apa jawaban Barina?" tanya Nita. Mereka menoleh ke arah Barina serentak. Doni menatap gadis di depannya dengan mantap, menunggu jawaban yang baik.

Barina diam sejenak lalu berdeham. "Sebelum saya menjawab, boleh saya bercerita dan mengajukan pertanyaan kepada Tante dan Om?" Gadis itu mengangkat wajah dan menatap kedua orangtua itu. Sedangkan, Marina dan Barata hanya menoleh bingung sebab mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh putrinya.

"Tentu boleh, sayang," jawab Nita lembut.

"Begini. Sebelumnya saya mau kasih tau alasan saya belum menikah juga, karena saya takut."

"Takut?" Nita dan Marina bersuara bersamaan.

"Saya punya teman sudah menikah lima tahun dan belum dikaruniai keturunan. Selama lima tahun itu mereka nggak pernah putus usaha, hanya saja mereka nggak kasih tau kepada ibunya tentang ikhtiar mereka. Beberapa hari lalu, teman saya datang ke rumah nangis-nangis bahkan sampai mencoba bunuh diri karena mertuanya menyuruh suaminya untuk menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Yang saya takuti adalah jika saya bernasib sama dengan teman saya itu, apa Tante dan Om akan melakukan hal yang sama sepertu mertua teman saya?" Barina diam sejenak memikirkan kalimat yang baik. "Maksudnya begini, kalau nanti saya menikah dengan Kak Doni dan kami belum juga dikaruniai keturunan, apa Tante dan Om bisa menerima kekurangan saya atau bersikap sebaliknya? Jujur aja, urusan keturunan saya nggak bisa ngatur kapan akan dikasih karena itu ketentuan Tuhan. Ini saja saya dilamar orang karena ketentuan Tuhan. Saya percaya dengan rejeki. Tante dan Om mengerti, kan, maksud saya?" Barina takut mereka salah paham.

"Mama, kan, pernah bilang mau cepat-cepat punya cucu," sambung Doni memperjelas maksud Barina.

Mendengar lelaki itu meluruskan, Barina merasa lega.

Meja makan menjadi hening seketika. Nita menoleh ke suaminya sektika. "Tante paham maksud kamu. Tante juga sedih dengar cerita teman kamu. Tante juga punya anak perempuan, kakaknya Doni. Begini, sepertinya Doni pernah cerita ke kamu kalau Tante kepengin punya cucu dari Doni, ya? Kayaknya kamu salah paham. Naluri seorang ibu adalah melihat rumah tangga anaknya bahagia. Jika kalian belum juga dikarunia keturunan, kami tidak masalah. Buat kami kalian bahagia dan rumah tangga rukun. Tapi, kami ingin kalian terbuka apapun masalah kalian, apalagi soal itu. Setidaknya kita pecahkan sama-sama. Itu, kan, peran orangtua. Memang, kebanyakan anak-anak yang sudah menikah, nggak mau orangtuanya ikut campur. Setidaknya, orangtua juga yang akan menjadi pelabuhan keluh kesan kalian." Nita menunduk ketika mendapati ekspresi Barina yang datar. "Bagi Tante, kamu sudah menerima kekurangan Doni saja, Tante sudah bahagia. Tante yakin, kamu memang pendamping terbaik untuk anak Tante." Nita melihat Barina tersenyum. "Tante pastikan kamu nggak akan mengalami apa yang teman kamu alami," lanjut Nita meyakinkan gadis itu.

Barina menunduk dan memandang jemarinya. Kemudian, mengangkat wajah lagi, Doni sudah memandangnya lekat. Mata mereka beradu seakan tengah berbicara dari hati. Lama mereka bertatapan. Dari sana, gadis itu mendapatkan keyakinan. "Terima kasih, Tante." Dia menoleh. "Saya senang dengarnya. Jawaban Tante membuat saya bisa memutuskannya sekarang."

Semua yang ada di meja makan itu menunggu jawaban Barina. Dia menarik napas dalam-dalam hingga terhidu aroma bunga yang diletakkan di tengah meja makan. Dia kembali memandang wajah dan bola mata Doni. Lalu, memandang wajah mereka satu persatu. "Saya bersedia menikah dengan Kak Doni." Barina menjawab dengan degup jantung yang berderu cepat. Gadis itu melihat senyuman bahagia di wajah lelaki di hadapannya dan kedua orangtua mereka.

"Syukurlah. Terima kasih, Barina. Om dan Tante senang dengarnya." Nita menjulurkan tangan melintang di atas makanan. Tangan renta itu disambut baik oleh Barina. Nita menggenggam tangan gadis itu. "Tangan ini yang kelak merawat dan membahagiakan Doni. Terima kasih, ya, sayang."

Barina mengangguk disertai senyuman. Nita melepaskan tangannya.

"Akhirnya kita akan besanan, Pak," sambut Darma kepada Barata. Mereka pun saling berjabat tangan. Begitupun dengan Marina dan Nita. Di meja makan itu menjadi hangat dan penuh cinta.

Selama para orangtua menyalurkan rasa bahagia, Barina dan Doni sudah saling berpandangan. Baru kali ini Barina tidak bisa mengatur degup yang tidak beraturan. Lelaki itu beranjak dari kursi dan mendorongnya sedikit ke balakang. Suara derit kursi membuat para orangtua menoleh ke arah mereka. Doni mendekati gadis itu lalu mengeluarkan kotak merah dan mengeluarkan isinya, sebuah cincin. Barina memutar badan ke kiri dan mendongak menatapnya. Doni menjulurkan tangan kiri kepada Barina. Gadis itu beranjak dari kursi dan bergeser ke hadapan Doni.

"Apa?" tanya gadis itu.

"Tangan kiri," pinta Doni.

Tanpa protes Barina memberikan tangan kiri dan diraih oleh Doni. Lelaki itu membelai tangan Barina sebentar. Secara perlahan Doni menyematkan cincin di jari manis Barina sambil berkata, "cincin ini nggak ada makna apa-apa tanpa perasaan kita yang menyatu. Cincin ini nggak ada makna apapun tanpa saling peduli. Aku mencintai kamu bukan karena siapa kamu, tapi karena hatiku memilih kamu. Terima kasih kamu udah mau terima aku." Dia mencium tangan itu, lalu memandang gadis itu lekat. "I love you, Barina Agatha."

Barina tersenyum mendengar pernyataan Doni. Ini sangat romantis sepanjang hidupnya. "I love you more, Kak."

Tepuk tangan dan ucapan syukur bergemuruh di ruang makan. Tidak hanya mereka yang ada di meja makan, melainkan asisten rumah tangga yang sedari tadi menontoni mereka pun ikut merasakan kebahagiaan.

Sebelum kedua anak muda dimabuk asmara lupa diri, Darma membuka suara. "Ayo kita makan! Takut keburu dingin." Darma menyilakan kepada mereka.

Mereka berdua kembali duduk di kursi masing-masing. Tak habis Barina mengucap syukur di dalam hati. Tuhan memang baik. Tidak hanya memberikan calon suami yang menyayanginya, Tuhan juga memberikan mertua yang sangat menyayangi dan pengertian.

Acara makan malam itu menjadi acara yang paling berkesan untuk mereka berdua. Langkah baru sudah dimulai.

------
Lebih cepat beberapa jam. Yeay.

Terima kasih sudah membaca.

Salam,

Author

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang