4. APA BOLEH AKU DIIZINKAN BERTANYA?

188 4 0
                                    

(ATHAYA)

Malam ini aku masih sibuk bekerja dikantor ku, banyak berkas-berkas menumpuk diatas meja kerja ku, yang tidak aku biarkan berantakan kemana-mana. Aku hanya ingin Allah tidak menilai ku sebagai umat-Nya yang tidak bersih.

Tapi tiba-tiba saja aku mendengar ketukan pelan dari pintu ruang kerja ku. Entah siapa yang hadir malam itu? Karena yang ku rasa, aku tidak sedang memanggil pegawai untuk datang menemui ku diruang kerja malam itu.

Ku persilahkan saja ia masuk...

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh"

"Wa'alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh. Oh... Ali, mari silahkan duduk" Ajak ku sopan kepada tamu yang ternyata adalah Ali, Kakaknya Zoura. Aku pun melempar baik senyum ku, begitu pula Ali menyambutnya.

Ia sejenak menutup kembali pintu ruang kerja ku, dan kemudian ia langkahkan kakinya menuju kursi yang memang telah aku sediakan diseberang meja kerja ku. "Ada apa Ali?" Tanya ku to the point dan sesopan mungkin.

"Niat ku kesini untuk menjemput Adik ku, tapi... Dimana dia, aku tidak melihatnya? Apa Zoura sudah pulang Athaya?" Tanya Ali balik menjawab pertanyaan ku.

Aku sadari, mungkin Zoura lupa memberitahukan peraturan baru yang telah aku tetapkan hari ini. "Ali, aku telah mengubah peraturan kerja. Aku tidak mengizinkan seorang wanita bekerja lewat dari jam Magrib"

"Jadi begitu. Mungkin Zoura lupa memberitahukan ku" Ujar Ali, aku hanya tersenyum menanggapinya. "Athaya, waktu itu ana lupa menanyakan sesuatu kepada mu. Bagaimana kabar Ayahanda mu?" Tanya Ali lanjut kepada ku.

Jujur saja, sungguh aku jadi tidak enak hati mendengarnya. Saat pertemuan kembali aku dan Ali, aku juga lupa untuk menanyakan kabar kedua orang tuanya, aku pun tertawa pelan sejenak.

"Kenapa kamu tertawa?"

"Maaf Ali, aku tidak bermaksud menghinamu. Sungguh, aku tidak ada maksud sedikitpun untuk melakukan itu. Aku hanya mentertawakan diriku sendiri, yang ternyata juga lupa menanyakan kabar kedua orang tua mu waktu pertemuan kembali kita" Jelas ku seterang-terangnya, Ali tersenyum hangat mendengarnya.

"Astafiruallahalazim, aku kira akulah yang salah bertanya dan menyinggung perasaanmu Athaya"

"Tidak Ali, sungguh. Kabar Ayahku alhamdulillah baik-baik saja. Lantas bagaimana kabar Ayah dan Ibu di Palembang?"

"Alhamdulillah mereka juga baik"

"Syukurlah"

"Syukurlah"

"Apa Ibu dan Ayah sering ke Jakarta? Atau kalianlah yang selalu pulang ke Palembang?"

"Alhamdulillah, kami yang sering pulang ke Palembang. Ayah dan Ibu sesekali saja main ke Jakarta, karena Ayah masih sibuk menyebarkan dakwanya"

"MasyaAllah, Ayah masih kuat saja dalam berdakwa"

"Sungguh Athaya, Ayah sudah menetapkan ikrarnya untuk menguatkan Islam melalui dakwanya. Lantas itu pulalah alasan ku mengajar di Pesantren"

"Kenapa tidak berdakwa saja, memberikan nasihat kepada orang banyak seperti Ayah?" Mendengar pertanyaanku, Ali pun tersenyum mendengarnya.

KEKASIH HIJRAH KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang