23. HATI KU BAIK-BAIK SAJA

76 3 0
                                    

(ZOURA)

Disini aku, dengan kesibukan baru ku menjadi seorang manager di kantor pusat. Sudah hampir sekitar setengah tahun lebih aku dipindahtugaskan ke kantor pusat menjadi sebagai seorang manager. Sedangkan mba Nimas... Ia juga diangkat menjadi seorang manager sama seperti ku, tapi di kantor yang sama tempat aku dan mba Nimas masih menjadi pegawai dulu.

Walau terpisah, tapi kami masih sering bertemu untuk makan siang bersama. Terkadang kami jalan-jalan sore bersama sehabis pulang dari kerja. Tidak bisa ku lupakan enam bulan yang lalu disaat kami diputuskan untuk bekerja ditempat yang terpisah.

"Ya... Ra, jadi ngga bisa makan di kantin kantor bareng lagi deh kita" Seru mba Nimas tampak kecewa. Aku pun hanya tersenyum menanggapinya. "Mmm... Gimana, kalau kita jalan-jalan sore hari ini. Anggap saja perayaan perpisahaan kita?" Ajak mba Nimas.

"Maaf mba, aku ngga bisa. Aku mau jemput Kak Ali dan Paman dibandara" Tolak ku halus.

"O'Iya ya, Kakak kamu sama Paman kamu baru pulang dari Turki ya, hadirin pernikahan Pak Athaya. Ngga disangka ya Ra, baru beberapa bulan Pak Athaya hijrah ke Turki, eh... Malah mendapatkan pasangan hidup" Celoteh mba Nimas, lagi-lagi ku sunggingkan senyum ku.

**********

Ya... Enam bulan pun berlalu begitu saja, aku sudah tidak mendengar lagi berita dari Pak Athaya, sama persis seperti saat ia memutuskan untuk pergi ke Turki untuk pertama kalinya dulu. Kak Ali pun tak banyak cerita pula mengenai Pak Athaya, ia bilang sudah hampir enam bulan ini mereka tidak berkomunikasi.

Boleh aku ceritakan sedikit, apa yang terjadi kepada ku selama enam bulan ini kepada kalian? Ya... Enam bulan ini ku lalui dengan sedikit unik, seorang pria juga datang untuk meminang ku, ia Fandy teman semasa kuliah ku dulu.

Kedatangannya bersama Ibunya mengagetkan ku saat aku juga tengah liburan ke Palembang. Ia bilang sudah mendengar hijrah ku dari sahabat ku Hadi. Entahlah, kapan mereka saling bertemu? Di Jakarta atau di Palembang, yang jelas yang ku tahu adalah kalau Fandy masih menetap di Palembang.

Sungguh aku tidak berbohong, sempat ku terima pinangan dari Fandy itu. Tinggal dua minggu lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Tapi semua seketika saja terbatalkan, saat ia tiba-tiba saja lebih memilih kembali bersama mantan istrinya dan membatalkan pernikahannya dengan ku begitu saja.

Aku tidak marah, aku tidak pula bersedih, ku ikhlaskan hati ku sama seperti saat aku menerima pinangannya. Semua yang terjadi semata karena kehendak Allah SWT. Jika Allah tidak mengizinkan, mau menangis darah atau bertekuk lutut sampai lutut terluka sekalipun, tetap tiada artinya. Ya... Dia berarti bukan kekasih hijrah ku, begitu saja.

Tapi kebahagiaannya setelah kejadian itu adalah Ayah, Ibu dan Kak Ali sekarang lebih memberikan perhatian mereka kepada ku. Kak Ali selalu saja menemani ku kemana-mana, bahkan ia rela menghabiskan waktunya seharian bersama ku walau terkadang kelelahan menghampirinya. Ya... Aku tahu, ia hanya hendak membuat Adik perempuannya ini tetap bahagia dan melupakan kejadian pahit yang telah terjadi.

Sungguh Kak Ali, Ayah, Ibu, hati ku baik-baik saja. Sudah ku biasakan hati ku untuk lebih mencintai Allah SWT. Maka dari itu, rasa pahit dihati ku tidak akan terasa lagi. Tapi aku teramat berterima kasih, karena hal ini membuat ku tahu, begitu berharganya aku dimata keluarga ku.

"Ra... Mau, kamu aku jodohkan dengan kenalan ku?" Tanya mba Nimas yang juga ikut andil dalam kemalangan gagalnya pernikahan ku, aku pun lantas tersenyum mendengarnya.

"Tidak perlu mba. Pria yang ku inginkan adalah pria yang soleh, yang berani datang langsung menemui Ayah, Ibu dan Kakak ku. Jika memang ia hendak meminang ku menjadi istri, maka datanglah kepada kedua orang tua ku. Urusan keputusan, barulah aku yang angkat bicara" Jawab ku menyatakan penolakan.

Mba Nimas hanya bisa menghelakan nafasnya. Aku tahu ia begitu mengkhawatirkan ku sebagai kenalan akrabnya, tapi jujur... Aku tidak ingin membuatnya pusing mengurusi kehidupan ku. Mba Nimas punya keluarga, dan sudah sewajarnya hanya keluarganya lah yang berhak ada dihati dan dipikirannya, bukan aku.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh Ayah" Sambut ku, saat Ayah menelepon ku melalui saluran teleponnya.

"Wa'alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh anak ku" Sahut Ayah. Ku dengar suara Ibu bergema pula dibelakang Ayah.

"Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?" Tanya ku mendahului.

"Alhamdulillah sehat nak. Bagaimana dengan mu?"

"Alhamdulillah sehat pula Ayah"

"Syukurlah"

"Ayah tidak bertanya pula, bagaimana kabar Kak Ali?"

"Tidak, sudah Ayah dan Ibu mu ini telepon Kakak mu tadi. Dan ia bilang, ia baik-baik saja. Katanya Kakak mu sedang sibuk untuk menyiapkan wisuda anak santri tingkat tertuanya esok hari"

"Iya Ayah, Kak Ali mengundang ku untuk datang ke aula Pesantren besok. InsaAllah bila Allah mengkhendaki, aku akan datang menghadirinya"

Sejenak ku dengar Ayah ku menghelakan nafasnya. Sudah ku pastikan, sesuatu hal yang mendamaikan hati hendak disampaikan Ayah kepadaku, "Selalu bahagia ya nak disana. Ayah dan Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk mu dan pula Kakak mu" Ujar Ayah, ku lengkungkan senyum manis ku mendengarnya.

"Iya Ayah, Ibu. Aku doakan selalu pula Ayah dan Ibu disana, semoga selalu dijaga Allah SWT. Aamiin..."

Ya... Seperti itulah saat aku berteleponan bersama Ayah dan Ibu. Selalu saja ada nasihat diakhir telepon kami. Aku tidak akan bersedih, agar Ayah dan Ibu ku tetap bahagia. Seperti itulah janji ku terhadap Allah SWT.

KEKASIH HIJRAH KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang