3.

3.4K 114 1
                                    

3.


Hidupku jauh dari kata bahagia, tapi saat menatap matamu. Aku merasa bahagia.

***

Ayunan itu berayun ke depan dan belakang. Bergerak melawan angin. Rambut ikal berwarna hitam diterpah angin. Sejumput rambut mengenai dahinya.

Dia, David Anggara. Pria tampan berbalut jaket Nike yang menutupi kaus berwarna putih.

Ayunan berhenti bergerak ketika ponselnya berdering nyaring. Sebuah panggilan dari Ayahnya membuatnya mengernyitkan dahi.

David bimbang. Apa yang ia perbuat? Mengangkatnya atau membiarkannya?

Tak ingin ambil pusing, segera ia mengangkat panggilan itu.

David menarik napas perlahan lalu menghembuskannya. "Hallo."

[Hallo? David?]

Suara Ayahnya menyahut. Suara Anton terdengar tegas dan dalam.

David rindu akan suara itu.

"Iya, Ayah."

Embusan napas -tampaknya Anton kelelahan- di seberang sana membuat David menundukan kepalanya.

[Ayah ada perlu denganmu, Nak. Nanti sore kita bertemu. Tempatnya kamu yang menentukan.]

"Iya, Yah. Nanti aku kirim alamatnya lewat WA."

Setelah berkata seperti itu panggilan diakhiri secara sepihak oleh Anton. Tanpa embel-embel apapun.

David sudah terbiasa akan hal itu. Sejak Anton berselingkuh dengan wanita lain dan pergi dari rumah, jarang sekali Anton berjumpa dengannya. Kalau bertemu paling Anton minta bantuan David.

Genggamannya pada ponsel mengeras. David berdiri, pandangannya menajam. Lalu kakinya beranjak pergi dari sana.

***

Lagu Heavy Rotation oleh JKT 48, mengiringi tidur nyenyaknya. Volumenya tak kencang, tapi jika dalam suasana sepi-karena Pak Toni, guru geografi sedang memberi materi-lagu itu mampu terdengar ke seplosok kelas.

Pak Toni berhenti bersuara, melangkah mengikuti suara itu berasal. Semakin dekat dan semakin kentara lagu itu terdengar. Beliau menghentikan langkah kaki tepat di bangku paling belakang dan pojok, yaitu milik seorang siswa yang tertidur pulas.

Gio menepuk punggung Daniel. Tak ada reaksi. Lalu Gio menepuk lagi lebih keras, tapi gagal. Ini orang tidur atau mati?

Pak Toni geleng-geleng kepala, "Nak Gio, tolong ambilkan air."

Orang yang diminta itu menurut. Keluar kelas lantas kembali lagi setelah mengambil gayung berisi air penuh.

Gio memberikan pada Pak Toni.

Air itu disiramkan tepat di kepala Daniel. Membasahi seluruh wajah serta kemejanya.

Reaksi pertama adalah terlonjak, berdiri di kursi dan menoleh kiri-kanan.

"Woi, banjir! Banjir menimpah sekolah kita!" teriak Daniel berlebihan.

Semua yang ada di sana tertawa seraya menatap Daniel. Barulah cowok itu sadar kalau sekolahnya tidak terkena banjir, pandangannya terfokus pada Pak Toni.

"Lho, Bapak, toh, yang nyiram saya pakai air. Jahat banget, Pak...."

"Salah sendiri tidur di kelas sambil nyalain musik," omel Pak Toni berkacak pinggang.

Nyalain musik?

Daniel baru sadar, ia segera merogoh saku di kemejanya, dan benar saja ponselnya mati karena terkena air.

Ya, ponselnya tidak anti air.

"Ya... handphone gue, mati."

Bukannya merasa kasihan Pak Toni malahan menyuruhnya untuk keluar kelas.

Daniel memberengut.

Udah handphone mati, disuruh keluar kelas pula.

Kath melihat adegan itu dengan dongkol. Cowok itu memang keterlaluan. Bagaimana bisa dia menjadi suami di masa depan? Sikapnya aja seperti itu. Bisa-bisa yang cari nafkah bukan Daniel melainkan dirinya.

Pelajaran di kelas berlanjut. Membiarkan seorang cowok di pinggir jendela yang sibuk mengetuk-ketuk kaca jendela.

"Sttt... Kath," bisik Daniel mampu terdengar oleh Kath. Karena bangku Kath dekat jendela.

Kath menoleh, sebelah alisnya naik, "Apa?"

"Jam istirahat nanti kamu ke kantin, ya. Aku tunggu di sana." Daniel memberi kiss bye di luar jendela sana. "Dah dah, Sayang...."

Melihat itu Kath mendengus seraya memutar kedua bola matanya.

***

"Lama nunggunya?" tanya Kath duduk di samping Daniel. Menopang dagunya, kepalanya terarah ke samping.

Daniel menyeruput teh pucuknya. Setelahnya di geser ke depannya.

Kath meminum.

"Gak. Cuma satu jam," kata Daniel. "Kamu mau makan apa? Biar aku pesenin."

Cewek itu nampak berpikir sebelum memutuskan. "Batagor aja."

"Oke."

Kemudian Daniel berjalan ke tempat penjual batagor. Memesan dua piring batagor. Selesai memesan batagor yan antriannya seperti antrian sembako.

Daniel kembali dengan membawa dua piring batagor. Kath menyambutnya dengan senyum manisnya.

"Ini buat kamu." Meletakan batagor itu di atas meja Kath, lalu meletakan miliknya di atas meja depannya. "Ini buat aku."

"Makasih, Sayang," ucap Kath seraya mencubit pipi Daniel.

"Sama-sama," balas Daniel.

Mereka memakan batagor dengan tenang. Namun selang beberapa menit suara keributan datang dari luar pintu.

Arleta dan Liza saling ribut. Suara Arleta terdengar keras, Liza melawan dengan suara tenang. Keributan itu entah siapa yang memulai duluan, yang pasti mereka telah menganggu Kath dan Daniel.

"Arleta, bisa gak sih berantem itu gak di sini? Ini kantin bukan ring tinju!" tegur Kath menyeruak gerombolan siswa-siswi yang asyik menonton pertengkaran Arleta dan Liza.

"Dia yang mulai duluan." Arleta menunjuk Liza, matanya menatap garang.

Kath mendekati Liza, "Bener yang dia bilang?"

"Bukan, Kak. Kak Arleta yang duluan. Dia minta saya jadi budaknya, saya nolak tapi Kak Arleta maksa." Masih ketakutan Liza menjelaskan.

Sekilas Kath bisa melihat pandangan mengancam dari Arleta.

"Lo—"

"Udah cukup! Mending kalian semua bubar!" teriak Daniel memotong perkataan Kath. "Arleta! Selama ini gue diem ngelihat tingkah lo! Tapi ini udah keterlaluan. Gue gak diem selamanya, gue bakal ngasih lo pelajaran atas yang lo lakuin selama ini!" ancam Daniel membuat Arleta menggelengkan kepala.

"Oke. Gue minta maaf. Gue tahu, gue salah. Maafin gue, Dan, Kath dan lo, Liza," mohon Arleta menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Dalam mata Arleta jelas sekali kalau cewek itu tidak tulus meminta maaf.

Kath mendengus jengah, "Kebiasaan, kalo salah minta maaf tapi ujung-ujungnya selalu ngulangin lagi." Pandangannya beralih ke Daniel. "Udahlah, sayang, kita pergi aja dari sini."

Tak mengubris permohonan maaf dari Arleta, Kath menggandeng tangan Daniel, mengajak untuk meninggalkan kantin.

Arleta mendesis, lalu pandangannya beralih menatap Liza, "Awas lo!"

Setelah itu Arleta keluar dari kantin.

***

Possessive Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang