6.

2.5K 97 1
                                    

6.


Kalo kamu nakal, gak nurut sama aku. Bisa aja, aku klik mode pesawat. Biar kamu gak bisa hubungi aku!

***

"Besok malem ada konser band favorit kita. Nonton bareng, yuk," ajak Gio bersemangat.

Daniel dan Dean hanya memandang dengan wajah datar, mereka kembali pada aktivas masing-masing.

Daniel serius bermain game di ponsel. Dan, Dean asyik menonton acara musik di televisi.

Gio mendengus kesal karena dikacangin.

"Ya elah, jangan dikacangin, napa? Hati Hayati sakit, Bangg...," ucap Gio, suaranya dibuat-buat sambil tangan menyentuh dada.

Daniel menoleh, melempar bantal ke arah Gio dan tepat mengenai wajahnya yang nggak banget. "Najis parah! Kok, bisa ya, gue punya temen kayak lo!"

Bantal lemparan dari Daniel, dilempar balik ke si pelempar. Tapi dengan mudah ditangkap Daniel.

Gio berdecak.

"Udah gitu, suka mainin cewek pula." Meskipun sibuk menonton tivi, Dean menyahut penuh ejekan.

"Lo semua jangan pada jujur-jujur. Gue tambah sakit, tau gak?" Gio menatap kedua temannya.

Daniel tertawa, "Bohong, dosa. Jujur, salah. Serah lo, deh. Pusing pala barbie."

Mendengar itu bukannya membuat Gio kesal malahan dia tertawa keras.

Kamar Dean yang tak begitu besar, yang berisi tempat tidur, lemari, meja belajar dan televisi, seolah berguncang akibat tawa menggelegarnya. Dean mematikan tivi. Daniel berhenti bermain game, memasukan ke dalam saku.

"Diem lo. Bisa ancur, nih, rumah gara-gara tawa lo!" ejek Dean berlebihan.

Gio berhenti tertawa, "Segitu amat."

Seharusnya hari minggu ini dihabiskan Daniel bersantai-santi di kamarnya. Tapi ajakan Gio mengurungkan niat awalnya, dia mengikut cowok itu ke rumah Dean. Katanya sih di rumah Dean enak, sepi, tidak ada orang sebenarnya ada tapi tak kasat mata.

Hantu.

Dan, Dean terbiasa akan hal itu. Membolehkan temannya bermain ke rumah karena dia sendiri merasa kesepian saat di rumah. Dean tidak punya saudara. Mama dan Papanya sibuk mencari uang. Jadi tiap kali masuk ke dalam rumah, rasa sepi menyelinap dalam hatinya.

"Back to the topic!" seru Gio, mengagetkan Daniel dan Dean. Akibatnya Gio mendapar jitakan dari temannya.

"Bisa sellow gak, sih, lo?" tanya Daniel.

"Tau, nih, bikin kuping gue budek, aja," dengus Dean seraya menggosok-gosok telinganya.

"Hehehe, udah dari lahir kayak gini. Jadi dimaklumin, aja," kekeh Gio. "Gimana?"
"Gimana, apanya?" tanya Daniel bingung.

"Nonton konser bareng, lah," jawab Gio seraya menguyah kacang dua kelinci yang dia dan Daniel beli di minimarket sebelum ke rumah Dean.

"Gue ikut-ikut, aja. Males banget gue di rumah. Yang kebanyak dihuni sama dedemit." Dean setuju ajakan Gio. Itu cowok paling tidak betah tinggal di rumah.

"Lo?" tanya Gio seraya melihat Daniel. Yang ditatap seperti itu mengkerut. "Ikut gak lo?"

Daniel diam, tidak menjawab.

"Ikut aja, gih. Gak usah mikirin cewek lo yang posesif itu. Bonyok lo aja sellow...," paksa Gio.

Daniel mendengus, kedua pundaknya turun. "Iya. Gue ikut."

"Gitu, dong." Gio menepuk pundak Daniel lalu merangkulnya. "Jangan takut diputusin. Ada Abang di sini. Kalau putus nanti abang cariin penggantinya," ucap Gio santai.

"Ya, lo gampang cari pengganti. Cocok gak cocok diembat. Nah, Daniel, cari yang cocok susahnya kayak nyari jarum ditumpukan jerami," sahut Dean sarkatis. Tepat sasaran. Sikap playboy yang melekat pada Gio seolah membuatnya mudah mengejek.

Gio terkekeh, membenarkan perkataan Dean.

***

Keesokannya Daniel menghampiri Kath di jam istirahat. Kath duduk di bangkunya sambil membolak-balik buku Matematika, menghapal rumus itu, mengingat nanti di jam setelah istirahat akan ada ulangan harian Matematika. Kalau Daniel, belajar nggak belajar tetap saja tidak bisa mengerjakan soal. Setiap mengisi soal hanya tiga yang dia jawab di antara sepuluh lainnya.

Ketika Daniel sampai di meja Kath, dan memberi instruksi Andita untuk pergi dari kursinya, melalui tatapan. Seperti biasa, Andita melenggang seraya bersikap acuh tak acuh. Langsung Daniel mendudukkan bokongnya ke kursi.

"Yang mau ulangan, nih... belajarnya rajin banget. Anak pintar." Tangan Daniel mengelus rambut Kath.

"Iya, dong. Gak kayak situ, belajar aja gak pernah," sindir Kath menoleh ke samping.

"Ntar aja belajarnya, kalau udah kuliah. Masa SMA enaknya dibuat happy-happy," ucap Daniel melipat kedua tangannya.

Kath menggeleng-geleng, berdecak frustasi.

Sekarang Daniel harus bilang kalau nanti malam dia akan pergi nonton konser. Tapi tanpa Daniel bilangpun pasti jawabannya tidak boleh. Ya sudahlah ini sebagai formalitas saja.

"Nanti malem aku nonton konser." Daniel mengucapkan itu sambil melirik takut-takut ke arah Kath. Ada kemungkinan cewek itu akan marah. Jadi dia harus siap dengan resikonya.

Detik berlalu tak terjadi suatu hal apapun. Bunyi deru napas Daniel yang mengisi suasana kelas sepi, mengingat jam istirahat belum berakhir.

"Gima—"

"Gak boleh?!" seru Kath.

Benar-benar Daniel terkejut dibuatnya. Untung saja dia tidak memiliki serangan jantung, kalau iya, mungkin dia sudah kejang-kejang.

"Kenapa sih kamu selalu gak bolehin aku ini-itu?" Tanpa sadar, Daniel bertanya.

"Karena aku pacar kamu," tandas Kath, menutup buku, pandangannya terfokus pada Daniel. "Kamu udah jadi milik aku. Wajar aja aku mengatur kamu. Lagian ini juga baik buat kamu."

Daniel melengos sebelum memandang wajah di depannya. "Tapi gak gini caranya buat memiliki aku, Kath. Aku punya dunia aku sendiri begitu pun kamu. Kita memang pacaran, tapi bukan berarti kamu seenaknya mengusik dunia aku." Lalu cowok itu beranjak berdiri. "Kamu tahu, lebah aja kalau sarangnya kita rusak, dia akan marah, lalu menyengat kita. Sama halnya aku."

Setelah mengatakan itu Daniel melenggang keluar kelas. Kath menatap nanar pada punggung yang semakin menjauh, menghilang dan tak terlihat lagi. Dia melipat tangannya di atas meja. Menangis tanpa suara.

Kamu tahu, lebah aja kalau sarangnya kita rusak, dia akan marah lalu menyengat kita. Sama halnya aku.

Kata-kata Daniel tadi terbesit dalam ingatan Kath. Begitu kejamkah dia hingga dianggap merusak dunianya? Apa begitu berlebihan sikapnya ini pada Daniel?

Masalah yang Kath terima begitu banyak membuat dia ingin lenyap dari muka bumi ini. Masalah dengan papanya belum selesai, datang masalah baru lagi. Sebenarnya apa salah Kath pada Tuhan sampai-sampai memberinya masalah bertubi-tubi.
Sudah cukup dia tidak boleh memusing masalah-masalahnya.

Kath harus fokus, nanti dia akan melaksanakan ulangan harian, Matematika pula!

Disandarkan punggungnya kesandaran kursi. Mengusap air mata lalu kembali menghapal rumus-rumus tertulis di bukunya.

Dia tak sadar sedari tadi Andita duduk di meja depan guru. Andita merasa kasihan -meskipun tak tahu masalah Kath- melihat wajah Kath sehabis menangis. Sikapnya memang cuek dan tidak peduli sekitar tapi jika menyangkut Kath, dia tidak seperti itu.

Possessive Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang