4.

3K 104 1
                                    

4.


Pintu kedai es krim itu terbuka, menampilkan sosok pria dengan t-shirt lengan panjang warna biru tua dan celana jeans bermerk mahal. Matanya memandang seluruh ruangan. Tidak menemukan orang yang dicari, David memilih duduk di dekat jendela kaca berukuran besar. Karena hanya itulah tempat yang tersisa.

Sambil menunggu, David bermain handphone.

"Permisi, boleh duduk di sini?" tanya seseorang meminta persetujuannya. 

Masih fokus pada handphone-nya David mengangguk, membolehkan, mungkin orang itu tidak bisa duduk karena kedai es krim yang penuh akan pengunjung.

Jenuh juga kalau David menunggu terlalu lama. David tidak bisa berlama-lama di sini, waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menunggu Anton.

David berdiri dari posisi duduknya seraya memasukkan handphone ke sakunya. Namun gerakan itu terhenti saat matanya tidak sengaja menatap seorang wanita yang duduk di depannya.

Wajah wanita itu menghadap ke luar jendela, bisa terlihat hidung mancungnya dari arah samping.

"Sempurna," gumam David tidak sadar.

Seperti adegan slow motion wanita itu menoleh, menatapnya intens. David menatap bola mata itu. Matanya indah. Terlebih lagi wanita itu memberikan senyum manis. Saat itu, ia benar-benar jatuh cinta akan sosok wanita di depannya.

"Hai." Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajah David.

David mengerjap. Lalu duduk kembali, "Hai juga," ucap David kikuk.

Seorang pelayan menghampiri meja mereka, membawa pesanan wanita itu. Setelah pelayan pergi, David mengajak berkenalan.

"Kenalin nama aku David. Kamu?"

"Kath."

Degup jantung David berdetak lebih dari biasanya. Tahu akan nama wanita itu membuat hati David berbunga-bunga. 

Selama ini David pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis namun tak pernah sekalipun David merasa se-jatuh cinta ini.

"Kamu gak pesen?" tanya Kath.

David mengangguk cepat, "Iya-iya."

David memanggil pelayan dan segera memesan es krim favoritnya. Es krim rasa vanila. Sambil menunggu pesanan datang, David mencoba menanyakan apapun itu pada Kath.

"Kamu sering ke kedai es krim ini?" tanya David sedikit gugup.

"Kadang-kadang," jawab Kath sibuk memakan es krimnya. "Kalo kamu?"

"Setiap hari minggu, biasanya sering ke sini."

"Ini gak hari minggu, lho," ucap Kath.

"Emang. Aku lagi ketemuan sama orang," cetus David.

"Nungguin pacar?" tanya Kath. Tangannya hendak mengambil tisu, tapi David mendahului, lalu memberikannya ke Kath. "Makasih."

"Bukan. Aku gak punya pacar," sindir David seolah memberi kode.

Kath tertawa mendengarnya, "Sayang, ya, ganteng-ganteng gak punya pacar."

David memberengut. Untung saja Kath ini cewek yang membuatnya jatuh cinta kalau tidak mungkin saja David sudah membunuhnya.

Waktu berlalu begitu cepat, David dan Kath sudah menghabiskan es krim masing-masing. Walaupun es krim milik David masih tersisa sedikit-karena pelayan mengatarnya terlalu lama.

Kath pamit pulang sedangkan David menawarkan tumpangan. Kath menolak, dengan berbagai macam David tetap menawarkan.

David mengaku kalah. Tidak mudah bagi David sekedar mengantar pulang Kath. Cewek itu susah untuk didekati.

Sebuah panggilan dari Anton mengalihkan pandangannya dari Kath yang memasuki taksi. David mematikan panggilan itu. Kesal akan sikap Anton yang mempermainkan dirinya.

***

Di ruang keluarga, Rossa-Ibu David-tengah duduk di sofa seraya membaca majalah.

David menghampiri, mengecup kening Rossa.

Setiap kali David menatap mata ibunya ia merasakan kehangatan. Rossa adalah sosok yang tegar, walau jauh di lubuk hati Rossa amat sangat rapuh.

Rumahnya sekarang bukan lagi rumahnya yang dulu. Sekarang sepi, kosong dan tak ada keceriaan. David rindu kebersamaan keluarganya dulu. Jika ia diberi mesin waktu, ia akan pergi ke masa dimana Anton masih berada di sana dan tidak memiliki wanita lain.

"Baru pulang, Nak," ucap Rossa, mengelus kedua pipi David yang duduk di sampingnya.

"Iya, Ma," balas David menganggukan kepala.

Rossa menaruh majalah di meja, "Habis ini Mama anter kamu ke rumah sakit. Hari ini jadwal kamu cuci darah."

Punggung David bersandar pada sandaran sofa. Setiap kali David cuci darah selalu Rossa yang mengantar. David sudah kuliah semester dua tapi jika sudah urusan hal ini David tidak bisa sendiri.

"Sekarang?" tanya David.

"Ya, sekarang, dong. Masa nunggu lebaran monyet, sih?" Rossa menjewer telinga David, pelan.

David memasang wajah nelangsa, "Bbesok, aja, Ma. David males, ah."

"Gak bisa," tolak Rossa. Jari telunjuknya bergerak kiri-kanan di depan wajah David. "Pokoknya ... tetap hari ini. Titik."

David mendengus keras, "Oke. David nyerah!" Kedua tangannya diangkat ke atas.

Tingkah David itu membuat Rossa tertawa pelan. Anaknya ini tak bisa berdebat dengannya. Setiap hal itu terjadi David akan mengalah.

Setelah Rossa mengambil kunci mobil di nakas. Rossa menarik tangan David yang masih terduduk di sofa. Meskipun David malas untuk cuci darah tapi langkah kakinya setia mengikuti langkah kaki ibunya.

Apa kurangnya Mama buat Papa? Sampai-sampai Papa lebih milih wanita lain dibanding Mama, batin David

***

Possessive Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang