PART TWENTY SEVEN - UNKNOWN

129 12 0
                                    

"Beberapa hari yang lalu, Radena nembak gue."

Ucapan Lova membuat Gavin tersenyum simpul. Dugaan lelaki itu benar, kalau ada sesuatu yang lebih antara Lova dan Radena. "Terus lo suka dia?" tanya Gavin ingin tahu.

Lova menarik napas panjang lalu menggeleng pelan. "Itu masalahnya, Mas. Gue nggak tahu cinta ke dia atau enggak?"

"Belum menyadari?"

"Mungkin."

Gavin terkekeh pelan. Kadang dalam urusan cinta orang lain lebih cepat menyadari daripada si pelaku jatuh cinta. Gavin memajukan tubuhnya lalu berbisik pelan.

"Gue lihat dia cinta banget sama lo," ucapnya. Setelah itu dia memperhatikan wajah Lova yang tampak biasa saja. "Lo pasti tahu itu, kan? So, apa yang bikin lo ragu?"

Lagi, Lova menggeleng. "Kadang gue ngerasa udah terlalu lama kenal sama Radena sampai gue nggak bisa bedain perasaan gue. Kami saling dukung, saling perhatian, dan gue nggak tahu apa itu semua udah berubah yang awalnya cuma 'temenan' lalu 'saling sayang'" kata Lova sambil menggerakkan kedua jari telunjuk dari jari tengahnya saat menyebut teman dan saling sayang.

Gavin terdiam, tampak berpikir sejenak. Dia sebetulnya juga tak begitu paham dalam urusan percintaan. Kisah cintanya saja berakhir kandas, tapi setidaknya Gavin memiliki pengalaman, dan mungkin saja pengalaman itu cukup membantu Lova.

"Orang bilang cemburu itu tanda cinta," kata Gavin. "Lo pernah nggak cemburu ke Radena? Misal tuh cowok terlalu deket sama cewek lain atau lebih perhatian ke cewek lain."

Lova terdiam, mencoba mengingat pernah merasakan itu atau tidak. Selama mengenal Radena, Lova malah sering merasa cowok itu lebih perhatian kepadanya. Sesekali Lova juga melihat Radena perhatian ke Lala. Dan Lova tak merasakan cemburu, mungkin hanya iri, tapi hanya berlangsung sekilas.

"Kayaknya enggak."

Senyum Gavin mengembang, entahlah dia sepertinya senang mendengar jawaban itu. Namun, kegembiraan itu seketika musnah, ada beberapa pasangan yang jarang cemburu tapi saling mencintai.

"Setiap lo mau ketemu Radena, lo selalu ngerasa perut lo mulas, deg-degan atau lo jadi kayak khawatir sendiri?" tanya Gavin. Dia ingat saat jatuh cinta ke Erika, meski kasusnya tak separah itu, dia hanya merasa deg-degan yang tak keruan.

"Emmm."

Lova memejamkan mata, lalu rasa deg-degan itu semakin menjadi. Dia jarang merasakan seperti itu ke Radena, hanya deg-degan jika lelaki itu membuat kaget saja.

"Gimana? Udah nemu jawabannya?" tanya Gavin kala melihat Lova masih memejamkan mata sambil mengernyit.

Perlahan mata Lova terbuka. Dia mengangguk, dan sengaja tak memberi tahu Gavin tentang apa yang dia simpulkan.

"Gue harap bisa nolong lo. Kalau lo sayang sama Radena, gue harap sampai kalian tua. Tapi kalau nggak ada perasaan apapun, saran gue sih kalian harus profesional," saran Gavin.

Lova mengangguk paham. Dia sudah memikirkan ini masak-masak dan tahu risikonya seperti apa. Mungkin rasa canggungnya lebih parah daripada Lala dengan Radena sekarang.

"Mas, makasih ya," kata Lova.

Satu alis Gavin terangkat. "Gue nggak berbuat apa-apa."

"Tapi barusan bantuin gue."

Gavin geleng-geleng, Lova ini sungguh polos atau terlalu sopan? Setiap bantuan sekecil apapun dijawab dengan kata "terima kasih", padahal Gavin sendiri tak menganggap kejadian barusan adalah bantuan.

"So, kapan lo mau ngasih tahu ke dia?" tanya Gavin ingin tahu.

"Belum tahu, Mas. Saya nunggu waktu yang pas."

May I Love You? (愛してもいい?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang