Katanya hati telah memilih. Katanya cinta, katanya juga sayang. Namun, Lova merasa itu hanya sebatas kata-kata. Karena setelah pernyataan itu terucap Gavin langsung mengajak pulang dan tak ada komunikasi lagi. Bahkan esok harinya saat lelaki itu ke kantor penerbitan, tak menemui Lova malah menemui Mbak Tari.
Setelah menghilang dua hari, tiba-tiba Gavin memberi kabar dan ingin mengajak Lova pergi. Harusnya Lova menolak karena Gavin terkesan mempermainkan. Namun, sayang gadis itu malah mengiyakan.
"Yakin Nak Gavin nggak sarapan dulu?" suara Mama Lova terdengar.
Gavin yang hendak berjalan keluar itu seketika menoleh. Dia melihat wanita paruh baya yang mirip dengan Lova itu. "Makasih, Tante. Tapi nanti mau makan di luar sama Lova."
"Ck!" diam-diam Lova berdecak. Sungguh dia masih sebal ke lelaki itu. Tiba-tiba datang, tiba-tiba ngilang, seperti orang mau hutang.
"Saya permisi dulu ya, Tante. Maaf harus bawa Lova," lanjut Gavin.
Mama Lova tersenyum menggoda. Dia menoleh ke Lova lalu mengedipkan matanya. Tindakan itu membuat Lova mengernyit. "Mama apaan, sih. Dia itu nyebelin."
"Udah sana pergi. Nggak baik ngomongin orang."
Lova melirik Gavin dan lelaki itu terlihat puas. Arah pandang Lova lalu tertuju ke sang Mama. Dia mencium punggung tangan Mamanya lalu berpamitan.
"Lova pergi dulu ya, Ma."
Setelah berpamitan keduanya keluar rumah dan langsung bergegas masuk mobil. Gavin mulai menyebalkan, lelaki itu hanya diam sambil mengemudi. Membuat Lova merasa kalau pernyataan cinta itu hanya sebatas mimpi.
"Kita ke mana?" tanya Lova, bosan berdiam diri.
"Jalan. Mumpung weekend."
"Jadi kalau nggak weekend nggak jalan?"
Gavin melirik sekilas. Dia melihat wajah Lova memerah. Lelaki itu menahan senyumannya lalu menjawab. "Kan hari biasa kerja."
"Iya tahu!"
Daripada kesal sendiri berbicara dengan Gavin, Lova memilih diam dan fokus menatap jalanan. Dia melihat beberapa pasangan muda berjalan sambil bergandengan tangan. Hati gadis itu tersentil. Harusnya dia merasakan itu setelah pernyataan cinta Gavin. Namun, lelaki itu malah lempeng begitu saja. Bahkan tanpa memperjelas hubungan mereka seperti apa.
"Pantes diputusin," gumam Lova tapi mampu didengar Gavin.
"Lo ngomong apa?"
Lova melirik sekilas lalu menggeleng pelan. "Enggak. Gue ngantuk," jawabnya bete. Dia menyandarkan kepalanya lalu memilih memejamkan mata. Dia berharap nanti saat membuka, dia telah di kamar dan ini semua hanya mimpi.
Melihat Lova yang enggan menatap ke arahnya, Gavin langsung mengusap rambut gadis itu. Tindakkannya membuat Lova langsung membuka mata. Gadis itu sebal sendiri, kenapa sih Gavin bisa semenyebalkan ini? Lova buru-buru menoleh dan menatap Gavin yang mengemudi dengan satu tangan.
"Mas Gavin sehat?" tanya Lova.
"Sehat. Kalau nggak sehat nggak mungkin lagi nyetir."
"Mas Gavin ngerasa aneh?"
"Enggak!"
Lova membuang napas panjang. Orang aneh tak akan merasa kalau dirinya aneh, termasuk Gavin. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada lalu fokus menatap depan. Dia tak tahu Gavin sekarang membawa ke mana. Lova juga enggan bertanya.
"Va. Ambilin permen dong," kata Gavin sambil tangannya menggapai permen di ujung dashboard.
"Ambil sendiri nggak bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
May I Love You? (愛してもいい?)
Literatura Kobieca[COMPLETE] Soal cinta itu tak bisa ditebak, diprediksi dan dihitung dengan rumus manapun. Bisa jadi detik ini kau jatuh cinta, dan detik berikutnya kau akan terluka. Kadang cinta itu datang begitu cepat, tapi untuk melupakannya butuh waktu yang sang...