PART THIRTY NINE - TERIMA KASIH

168 15 0
                                    

Beberapa menit yang lalu gadis yang selalu Gavin pikirkan keluar. Oke, baru sekarang Gavin mengakui kalau dia memikirkan Lova. Bahkan setelah mengantar Erika ke flat setelah dari Koishikawa Korakuen Garden, lelaki itu memikirkan Lova.

Barusan gadis itu pergi, dan bodohnya Gavin tak kunjung menyelesaikan masalahnya. Lelaki itu menarik napas panjang. Dia ingat saat menasihati Lova, "nggak ada waktu yang tepat", justru dia tak menjalankan sesuai dengan apa yang dia ucapkan.

"Huh!!"

Gavin mengusap wajahnya dengan telapak tangan lalu bergegas masuk ke kamarnya. Dia langsung berjalan ke kamar mandi, ingin membasuh tubuhnya yang lengket dengan air dingin. Tiba-tiba dia ingat kejadian kemarin di Jepang, menyentuh air dingin adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Namun, sekarang dia justru butuh air dingin. Sungguh kondisi yang begitu cepat berbalik.

Tiga puluh menit kemudian Gavin keluar dengan rambut yang telah basah. Dia memakai kaos tipis dan celana selutut lalu kembali keluar. Dia ingin mencari ponselnya yang mungkin berada di tas. Dia ingin menghubungi Erika dan mengabari gadis itu kalau dia baik-baik saja.

Setelah menemukan benda yang dicari, Gavin melakukan sambungan dengan Erika. Cukup lama Gavin mendengar nada sambung, hingga di sambungan terakhir Erika mengangkat panggilan itu.

"Halo, Gavin. Kamu sudah sampai?" tanya Erika terdengar khawatir.

"Ya. Kamu di sana sehat?"

Sambil mengobrol dengan Erika, lelaki itu berjalan menuju dapur. Dia ingin mencari makanan yang bisa menganjal perut, kebiasaannya setelah melakukan perjalanan jauh, kelaparan.

"Sehat. Kamu nggak ada kendala apapun? Setelah kamu pergi, ada badai salju."

"Emm. Nggak," jawab Gavin disela mengunyah keripik kentang.

"Aku tebak kamu pasti lagi kelaparan."

Kalimat Erika membuat Gavin langsung menghentikan kunyahannya. Lelaki itu lalu terkekeh geli. "Kamu masih hafal?"

"Tentu. Sebagai seorang teman, nggak masalah kan hafal kebiasaan teman lainnya?"

Pertanyaan Erika membuat Gavin terdiam sejenak. Lelaki itu kemudian bersuara, "Sama sekali nggak masalah, Erika."

"Gav. Cepet selesaikan masalahmu ya. Aku tunggu."

Tut. Tut. Tut.

Sambungan langsung diputus sepihak. Gavin menatap ponselnya dengan nanar, tapi tak lama senyumnya mengembang. Dia senang karena Erika masih peduli kepadanya.

***

"Ya ampun Mbak Lova dari mana?"

"Iya. Lo dari mana, Va?"

Pertanyaan itu Lova dapat setelah sampai kantor. Gadis itu berjalan lemas menuju kubikelnya tanpa menjawab pertanyaan dua temannya itu. Radena dan Lala sontak saling pandang, mereka bingung dengan perubahan sikap Lova. Tadi pagi, Lova terlihat ambisius dengan semangat baru, sekarang gadis itu tampak kembali lesu.

"Kita harus cari tahu," kata Radena ke Lala, lalu lelaki itu bergegas ke kubikel Lova.

"Ada masalah apa? Bisa jangan lo pendem sendiri?" tanya Radena ingin tahu.

Air mata Lova hampir saja turun, kalau saja Radena tak ke kubikelnya. Buru-buru gadis itu menghalau air matanya, lalu menatap Radena dan Lala dengan senyum singkat.

"Makasih kalian udah khawatirin gue," kata Lova.

"Bukan itu yang pengen kita denger, Va."

Radena buru-buru menyela. Kedua tangannya bahkan menyentuh pundak Lova agar gadis itu tak bisa menghindar. Tindakannya cukup membuahkan hasil, karena Lova sekarang terlihat menunduk dan mulai terdengar isakan.

May I Love You? (愛してもいい?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang