PART THIRTY ONE - SUARA YANG DIRINDUKAN

109 16 0
                                    

"Woy! Ngelamun aja lo."

Suara Gerald menyadarkan Gavin dari lamunannya. Tanpa mengetuk pintu, tanpa memanggil, tanpa permisi terlebih dahulu kakaknya itu langsung masuk ke ruangannya. Jika bisa Gavin memberikan sebuah julukan kepada kakaknya itu, mungkin dia akan memberikan julukan 'Selonong-Man' kepada Gerald.

"Nggak bisa gitu ya, masuk ketuk pintu dulu," kata Gavin, lelaki itu lalu memperbaiki posisi duduknya. "Hm, iya deng.. lo kan bosnya di sini. Lupa gue," lanjutnya.

"Lo aja yang nggak denger. Gue udah ketok."

Gavin melengos, sudah paham dengan kebiasaan kakaknya itu.

"Lo ke mana kemarin?" tanya Gerald.

"Di apartemen, gue tidur."

"Lo sakit?"

"Hm,"

Gerald berjalan menuju sofa di ruangan Gavin dan duduk di sana. Sementara Gavin kini melanjutkan pekerjaannya, dia fokus kembali ke laptopnya.

"Vin, gue mau ngomong sama lo," kata Gerald kemudian.

Dari nada bicaranya, pria itu tampak sedang serius. Gavin sempat melirik sekilas ke arah kakaknya, namun dia tak menghentikan kegiatan mengetiknya.

"Kayaknya awal tahun, Papa mau serahin perusahaan ke kita."

Gavin menoleh ke arah Gerald. Pria itu terlihat menghela napas panjang. Gavin merasa kakaknya tidak sedang bercanda. Dia lalu beranjak dari kursi kerjanya lalu berjalan menuju sofa dan duduk tak jauh dari posisi Gerald. Gerald menengadahkan kepalanya ke sandaran sofa, wajah pria itu tampak bingung dan lelah.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Gavin.

"Entah lah. Papa kayaknya mau nikmatin hari tua. Tapi ya nggak secepet ini juga lah. Papa juga sehat-sehat aja kan? Jujur gue masih butuh banget bantuan papa buat urus perusahaan. Gue juga butuh bantuan lo, Vin."

Gavin mengerti arah pembicaraan Gerald. Ini pasti karena Gerald kecewa dengannya yang tak serius mengurus perusahaan. Sejujurnya dia tidak keberatan bekerja di perusahaan keluarganya. Namun, karena dia sempat depresi dia jadi tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun. Gavin butuh waktu untuk bangkit dan dua hari yang lalu dia hampir jatuh ke dalam jurang yang sama. Beruntung ada Lova di sana yang membuat perhatiannya tak terfokus hanya kepada Erika lagi. Gavin juga akhirnya membagi sebagian bebannya kepada Lova hingga dia merasa jauh lebih baik sekarang.

Gavin ikutan menengadahkan kepalanya ke sandaran sofa. Lelaki itu menyadari bahwa hidupnya kini bukan hanya memikirkan masalah Erika. Dia sudah terlalu lama berkutat dan terjebak dalam pedihnya patah hati. Dia juga adalah seorang lelaki yang harus memikirkan masa depan, termasuk mengelola perusahaan keluarganya.

"Gue minta tolong sama lo. Mulai serius lah sama kerjaan lo. Memang mungkin ini bukan passion lo atau apa yang lo mau. Tapi ini juga buat kebaikan lo, Vin," kata Gerald. "Gue butuh bantuan lo," lanjutnya.

"Gue tau. Gue minta maaf, kemarin gue mangkir."

"Ya, gue tau. Semua butuh proses. Tapi lo juga jangan kelamaan bangkitnya."

"Iya."

Gerald lalu berdiri, pria itu menggeliat sebentar lalu menepuk pundak Gavin.

"Semangat bro! Gue percaya sama lo."

"Ya."

"Oh iya, Lova gimana?"

Gavin menggerakkan sebelah alisnya. Sementara Gerald menatapnya dengan seringai menggoda.

"Baik-baik aja dia," jawab Gavin santai.

"Kapan lo ajak dia ke rumah?"

"Hubungan gue sama Lova bukan kayak gitu."

May I Love You? (愛してもいい?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang