"Woi gue depan sekolah lo!"
Dewi melotot. Gadis itu langsung berdiri panik, beranjak dan berlari keluar kelas.
"He ngapain sih? Gue masih jam sekolah," kata Dewi tapi berjalan cepat di koridor menuruni tangga.
"Mampir dari bandara tadi," jawab suara di seberang dengan tenang. "Belum pulang? Ck elah bolos aja."
Dewi menggeram saja. Ia makin mempercepat langkah di lobby. Gadis jangkung itu menutup telpon, menuruni tangga sekolah. Matanya melebar melihat seorang pemuda berkulit putih dengan jaket kulit berdiri di depan gerbang sekolahnya.
Dewi tanpa sadar mempercepat langkah, membuat pemuda itu menoleh.
Keduanya bertatapan.
Dewi merasa bergetar kecil, dengan agak terengah menghentikan langkah di depan Adam yang menatapnya.
Hening.
Keduanya sama-sama tak bicara beberapa saat, hanya saling pandang dengan tatapan lekat. Seakan mata mereka sama-sama telah bicara satu sama lain.
"Kenapa diem? Lo nggak mau meluk gue?" kata Adam dengan meledek.
Dewi mendecih, mendekat dengan wajah mencoba tenang. Ia melirik koper kecil dan tas ransel cowok itu. Lalu terkekeh, "lo beneran langsung kesini? Ngapain?"
"Kirain dah pulang, maksudnya sekalian balik bareng," jawab Adam agak memiringkan kepala, menatap Dewi dalam.
Dewi melengos pelan, "ini masih istirahat kedua. Elo mah nggak pernah sekolah, jadi nggak tau," katanya pedas.
Adam malah tertawa. Cowok itu mendekat tepat di depan Dewi, lalu mengangkat tangan. Menepuk puncak kepala Dewi. "Ck lo kenapa terus tumbuh sih? Tinggi banget sekarang kayak tiang."
Dewi menggigit bibir. Gadis itu agak merunduk, merasa hatinya berdesir. Cewek itu berusaha mengendalikan diri. Dewi tak tau bertemu kembali dengan Adam secara langsung begini akan jadi secanggung ini.
Bukankah mereka masih sering bertukar kabar? Kenapa rasanya bisa serindu ini? Dewi merasakan haru yang aneh. Seakan semua perasaan rindu yang menyesakkannya berhasil meluap. Tapi, gadis itu merasa gengsi untuk mengutarakannya.
Adam berdehem, "yaudah. Gue balik dulu, yang penting udah liat lo," katanya membuat Dewi mengangkat wajah. "Nanti balik sama siapa?"
"Biasa sama temen," jawab gadis itu mencicit kecil. "Harusnya lo ke rumah dulu, istirahat. Kenapa dari bandara mampir dulu pake bawa-bawa barang gini."
Adam tersenyum, "cuma mastiin aja Edelwish sekolah dengan baik," katanya membuat Dewi mencibir.
"Emang gue kayak lo," balas Dewi memanyunkan bibir.
"Teross," kata Adam mengacak rambut panjang gadis itu. Dewi mendecak saja.
Sementara itu, di lapangan upacara yang berjarak beberapa meter dari gerbang sekolah. Para cowok bermain bola di sana, karena lapangan olahraga diisi ekskul marching yang sedang latihan formasi.
Marten awalnya hanya menoleh sekilas. Tapi pemuda itu mengangkat alis, lalu berhenti dan menyipitkan mata mencoba memastikan gadis jangkung itu ia kenal.
"Tuy, Tuy!" panggil Marten berbisik heboh, membuat Yuta yang sedang lari-lari jadi menoleh. Awalnya tak mau peduli, tapi penasaran juga untuk mendekat pada Marten.
"Eh itu Edelwish bukan sih? Si Dewi," kata Marten menggerakkan dagu ke arah gerbang sekolah.
"Hm? Dewinya Jonath?" balas Yuta juga menajamkan pandangan untuk memastikan.
"Ho'," Marten mengangguk. Kembali memerhatikan menyelidik, "sama cowok?"
Yuta mengernyit, "gojek kali lagi order gofood," ucapnya enteng.
"Mana ada anjir," balas Marten menoyor Yuta, "elo mah goblo."
Marten diam sejenak, menoleh pada Yuta. "Kasih tau Jonath?" tanyanya meragu.
"Nggak usah," kata Yuta tenang, "tu anak masih belum bisa diganggu. Lo entar diinjek tau rasa," katanya menakuti.
Marten mendecak. Kembali memandang ke gerbang utama. Tepat saat Adam mengacak puncak rambut Dewi, membuat cowok itu melotot dan langsung heboh.
"Nah kan nah kan Tuy, acak-acak rambut anjir!" katanya melapor menepuk-nepuk lengan Yuta yang juga tersentak memandangi itu.
Yuta menghela nafas berat, "Jonath sih goblok. Ditinggal gitu aja, diselip kan tuh," katanya jadi menggosip.
"Ah udah mah ini, nggak dapat di sana nggak dapat di sini juga," kata Marten juga nyinyir, "emang Jonath tuh harusnya nemenin gue aja dah jadi jomblo."
Yuta tersentak, langsung menoleh. "Lah? Lu kan punya pacar," katanya membuat Marten mengerjap tersadar. "Halu ya lo?"
"Nggak anjir," balas Marten mendecih. "Emang lu pacarannya sepihak."
"Lo nggak tau aja kontak gue di hape dia calon suami ku," balas Yuta jadi sewot dengan kesal. "Elu juga cewek lo nggak pernah nongol."
"Ada goblo lo aja nggak pernah liat," balas Marten juga emosi.
"MARTEN YUTA!"
"APA?!" "APA?!"
Keduanya menoleh kompak dengan kesal sama-sama balas berteriak.
"ELO MAU MAIN BOLA APA GOSIP ANJER?!"
"Oh ya," Yuta mengerjap. Ia menoyor Marten, kembali masuk ke permainan. Marten menggerutu kesal. Walau masih sempat menoleh lagi ke arah gerbang, tapi segera mengikuti Yuta.
a/n:
rame gak neh
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Song ✔✔
Teen FictionSeru kali ya kalau kita punya seseorang yang minat dan cara berpikirnya sama persis kayak kita. Tapi, dimana letak serunya kalau apa-apa sama melulu? - Gara-gara sulit menemukan pasangan untuk sweater couple yang limited, mereka berkenalan. Sepakat...