LS: Tamparan

47.7K 7.1K 1K
                                    


Selama 17 tahun lebih hidup, Dewi selalu berpikir kalau semesta itu jenaka. Selalu lucu. Lucu yang sedih, lucu yang bahagia, lucu yang membingungkan, ataupun lucu yang tak masuk akal.

Ada saja hal-hal yang datang tak terduga. Entah kali ini ingin membantunya atau tidak, tapi dengan cara yang menyakitkan.


Dewi masih berdiri di koridor rumah sakit. Masih dengan seragam biru navy kebangsaan sekolah. Segera ijin pergi ke ruang piket setelah mendapat telpon. Ditemani pemuda jangkung berseragam sama yang tadi langsung mengambil motor mengantarkan Dewi tanpa keterangan ke kelas.


Jonathan menatapi gadis ini lekat sedari tadi. Yang terus merunduk sejak datang ke UGD. Dewi sama sekali tak membuka suara, hanya sesekali jika dokter atau suster bertanya. Kelengkapan data pasien atau sebagainya. Dewi terus diam sampai berdiri menunggu di depan dinding UGD, menunggu keputusan kamar inap.

Jonathan ingin bertanya, tapi gadis ini seperti membangun tembok tinggi yang dingin. Jonathan ingin menenangkan, tapi gadis ini sudah sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak ingin diganggu, begitu yang terlihat.


Sampai langkah seseorang terdengar menghampiri, membuat Dewi lebih dulu mengangkat wajah dan menoleh. Jonathan yang larut menatapi gadis ini jadi ikut mengerjap dan menolehkan kepala.

Garis wajah Jonathan langsung mengendor. Matanya melebar samar melihat sosok Adam dengan jaket kulitnya kini menghentikan langkah. Tatapan Adam berbeda, seakan lebih dalam penuh arti menatap Dewi. Sama sekali tak mengindahkan keberadaan Jonathan yang dibuat bingung berada di antara keduanya.

Belum sampai ia mendapat kejelasan kenapa pemuda ini tiba-tiba muncul, Jonathan dibuat terkejut isak Dewi pecah. Gadis itu tiba-tiba bergetar, terisak dan tersedu yang makin lama makin keras. Seperti meledak setelah sejak tadi menahannya.

"Wish," Jonathan merapat, merangkul gadis itu menenangkan. Ia berusaha tak menunjukkan kebingungan, menjadi tumpuan gadis ini sambil memandang Adam yang terlihat meneguk ludah getir.

Dewi luruh, menguatkan diri mendongakkan wajah menatap Adam dengan nanar. "Aku udah bilang... Dia punya tekanan," katanya bergetar, membuat Adam tertohok. "Jangan gini, Dam.... Dia yang merjuangin kita selama ini sendirian...."

Jonathan ikut terenyuh. Ia merasa canggung, melirik Adam yang mengalihkan wajah berdiri di depan Dewi. Lidahnya merasa kelu, dengan garis wajah tertegun. Melihat jelas cetakan sama di wajah Adam dengan yang ia lihat pada ekspresi Dewi beberapa saat lalu. Wajah yang keruh, mendung, dan nanar. Wajah yang bungkam menyembunyikan kerapuhannya.

Dan di detik ini, Jonathan mengerti.

Pemuda itu terperangah sendiri. Menyadari sesuatu.

Mereka berdua punya gen yang sama. Darah yang mengalir di tubuh mereka berasal dari tempat yang sama. Cara mereka memendam luka dan diam seakan menunjukkan bahwa mereka ingin terlihat kuat, nyata sekali sama persis.


Adam meneguk ludah. Mencoba menguasai diri, "kamarnya no 21 di lantai dua," katanya tak memandang Dewi yang terisak. Bahkan suaranya bergetar.

Adam berdehem pelan, menoleh kini memandang Jonathan dengan tatapan kosong. "Jaga dia," ucap singkat.

Jonathan tertegun sekali lagi. Memandang Adam yang mulai melangkah pergi, tak mendengarkan lanjut Dewi yang masih menangis tersedu. Adam yang terakhir kali bertemu dengan Jonathan jelas sekali berbeda dengan Adam yang sekarang. Adam di malam itu tengil, menantang, dan percaya diri. Tapi kini Adam terlihat kosong dengan raut sendu.

Love Song ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang