15

3.1K 444 34
                                    

.
.
.
Typo is my style
.
.
.

3 years later...
Brooklyn, New York, USA.


Getaran ponsel pintar yang berada di atas nakas tepat di samping ranjang Sooyoung membuat tubuh wanita itu tersentak dari tidurnya. Matanya terbuka lebar dengan tangan yang langsung merampas ponsel.

"Aku kesiangan! Sial!" wanita itu mendesis. Pikirannya kacau tak karuan. Ayolah, ini sudah pukul 9 pagi. Sedangkan pesawat akan berangkat pukul 10 nanti.

"KIM TAEOH!" Sooyoung berteriak memanggil puteranya. Menyuruh anak itu agar segera bersiap karena sungguh, mereka benar-benar akan ketinggalan pesawat jika masih berlama-lama. Tiket dari Brooklyn ke Seoul itu tentu sangatlah mahal, Sooyoung tak ingin uang mereka hangus sia-sia hanya karena ketinggalan pesawat.

Oh, salahkan saja Kang Daniel yang mengajaknya mengobrol hingga pukul 3 pagi. Seorang yang terbiasa bangun pagi seperti Sooyoung pun akan kesiangan jika harus tidur hanya selama 3 jam!

Dengan hanya bermodalkan cuci muka, sikat gigi, dan lipstick seadanya Sooyoung menarik koper miliknya ke arah dapur. Sekedar mengambil roti dan susu untuk sarapannya.

Namun yang ia dapati di dapur adalah Daniel yang sedang memasak entah apa, dan Taeoh yang terlihat duduk manis di meja makan dengan ponsel di tangannya.

"Kim Taeoh! Kita harus berangkat sekarang dan kau masih bermain game?!" emosi Sooyoung naik ke ubun-ubun. Bagaimana putranya begitu tenang dengan masih mengenakan kaos tanpa lengan dan celana boxernya? Di penghujung waktu seperti ini, ingin sekali Sooyoung menendang bokong putranya itu.

"Mom?" Taeoh menatap Sooyoung heran. Bahkan Daniel pun ikut melihat wanita itu, membuat fokus Daniel terbagi dari nasi goreng yang sedang ia masak.

"Ini masih jam 6" dan perkataan Taeoh membuat Sooyoung tertegun dengan wajah konyol. Lantas ia mengambil ponselnya sekedar memastikan perkataan Taeoh barusan.

Benar saja, tertera angka 6.17 A.M. disana. Jadi, dirinya salah melihat jam?

Jelas-jelas Sooyoung melihat angka 9 tadi.

Atau, ponselnya terbalik saat ia melihatnya tadi?

Sooyoung terdiam, wajahnya memerah menahan malu. Kenapa ia bisa sebodoh itu?!

"Soo?" dengan gerakan pelan Sooyoung menoleh saat Daniel baru saja memganggil namanya.

"Ya?"

"Naik ke kamarmu, lalu mandi. Kau masih mengenakan piyama"

Bodoh!

Park Sooyoung bodoh!

Mati saja kau!

•••

"Tidak apa-apa kan aku tidak mengantar sampai ke dalam?" Sooyoung memutar bola matanya malas. Iris hazelnya menatap kesal pada Daniel yang sedang menatapnya khawatir.
"Harus berapa kali ku katakan padamu, Kang Daniel?" bukannya menjawab, Daniel justru tertawa. Tangannya naik mengusap surai hitam Sooyoung pelan.

"Baiklah. Hanya sampai sini saja" Sooyoung mengangguk. Lalu menarik Daniel ke dalam pelukannya.

"Hati-hati" bisik Daniel. Lalu memberikan kecupan selamat tinggal di dahi Sooyoung.

"Kami pergi, Uncle Dan! Aku akan menjaga Mom, sebagai gantinya tolong jaga Rooney untukku" Daniel tertawa mendengar ucapannya Taeoh. Tentu saja ia akan menjaga kucing kesayangannya itu tanpa harus Taeoh minta sekalipun.

"Tentu saja, dia kan Rooney kan kucing Uncle"

"Kau sudah memberinya padaku jika kau lupa, Uncle Dan!" protes Taeoh. Bagaimana mungkin Daniel masih mengklaim Rooney sebagai kucingnya sedangkan seminggu yang lalu pemuda itu sudah memberi Taeoh hak asuh atas kucing itu saat Taeoh memintanya.

"Iya, dia kucingmu" Daniel tertawa, entah menertawakan apa. Bukankah ia memang seperti itu? Selalu tertawa tanpa alasan yang jelas.

"See you, Uncle Dan! Jangan lupa jemput kami minggu depan!"

•••

Seoul, South Korea.

Waktu berlalu begitu cepat. Saat kaki Sooyoung kembali menginjakkan tanah kelahirannya, seperti tiga tahun yang ia lewati di negeri orang tidak berarti apa-apa.

Seperti baru saja semalam ia meninggalkan Korea dan hari ini ia kembali kesini. Luka lama kembali terbuka. Ingin sekali ia lari dari sini dan tidak kembali. Namun ia tak bisa, tanah ini adalah tanah kelahirannya. Masih ada Chanyeol, Jimin, dan Jihoon yang menetap disini. Ia tak bisa lari dan menjadi pengecut hanya karena seseorang yang tak pantas untuk dikenang.

"Mom?" Taeoh menatapnya dengan khawatir. Bagaimana ia tak khawatir jika Sooyoung tiba-tiba saja berhenti dengan tubuh yang bergetar; terlalu enggan untuk keluar bandara dan menatap langit Incheon.

"Harusnya kita tidak kem—"

"Bagaimana mungkin aku tidak hadir di hari kelulusannya Jihoon, Taeoh?! Jangan khawatir, ayo keluar. Paman mu sudah menunggu di depan" Taeoh membuang napasnya pelan.

Selalu saja seperti itu, Ibunya akan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Nyatanya ia sedang tidak baik-baik saja.

Dalam hati Taeoh merutuki Pamannya, Park Jihoon. Ia sudah dewasa, bahkan akan lulus dan menyandang gelar Sarjana. Tapi dua hari yang lalu ia merengek pada Mommynya agar hadir di upacara kelulusan Jihoon.

Merengek seperti bocah yang tak diberi coklat, Taeoh tak mengerti kenapa Pamannya itu bersikap sangat kekanakan. Lebih kekanakan darinya yang bahkan masih berumur 15 tahun.

"Mom, kenapa Jihoon Hyung sangat kekanakan 'sih?" pada akhirnya unek-unek yang Taeoh simpan ia lontarkan pada Ibunya.

"Berhenti memanggilnya 'Hyung'. Dia Pamanmu" jika Chanyeol dan Jimin akan dipanggil dengan sebutan 'Paman',  maka tidak dengan Jihoon. Taeoh selalu memanggil adiknya itu dengan sebutan 'Hyung'. Padahal sudah sering sekali ia mengingatkan pada putranya itu untuk memanggil Jihoon dengan sebutan 'Paman'.

"Jihoon Hyung sendiri yang menyuruhku memanggilnya 'Hyung', Mom. Katanya terlalu tua jika harus dipanggil 'Paman'" protes Taeoh. Ia hanya menuruti apa kata Jihoon, kenapa jadi dirinya yang ditegur oleh Mommynya?

"Jangan dengarkan apa katanya"

Taeoh mendengus. Sudah begini ia akan selalu salah. Mana bisa ia melawan Jihoon, Pamannya yang satu itu tidak akan bisa dilawan jika harus diajak berdebat.

Dalam hati Taeoh menggerutu,

"Mom dengan Jihoon Hyung sama saja"

Bersambung...

Anemone [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang