Kehilangan sebuah inspirasi dan ide itu adalah masalah besar untuk penulis. Tolong apresiasinya ya, terimakasih! Maaf juga telah membuat kalian menunggu 🙆🏻♀️oOoOo
Beijing memang indah, tapi Seokjin sangat merindukan Sowon. Jadi sebelum seminggu, ia kembali ke rumah.
Sekitar pukul 2 pagi, Seokjin baru sampai di bandara. Dia segera memesan taksi untuk pulang. Namun setelah memasuki apartemennya, nihil. Tak ada keberadaan Sowon di dalamnya, bahkan Seokjin mencari sampai kolong kasur.
"Kamu kemana sih," gumamnya, jujur saja khawatir. Seharusnya sang istri sedang tidur di kamar saat ini.
Merenung sejenak, pikirannya harus sedikit beristirahat. Setidaknya dengan begitu dia mengingat bahwa sekarang bukan lagi zaman surat menyurat seperti tahun purba.
Segera menekan tombol satu dalam ponselnya dan terdengar nada sambung. Tak lebih dari 5 detik, suara serak ciri khas bangun tidur di seberang sana berhasil menenangkan lelaki ini.
"Ini saya, Seokjin. Kamu dimana?"
Perempuan yang tadinya kesal karena bising, kini berangsur bahagia. Mengumpulkan kesadaran, lalu menjawab, "Di rumah orangtuamu. Aku kangen."
"Yaudah, tidur lagi. Besok saya jemput."
Sowon membuka mata total, "Eh? Kamu udah pulang?!!"
Ponselnya sedikit dijauhkan dari telinga, "Jangan teriak, sayang. Nanti yang di sana bangun semua."
"Maaf," ia menggigit bibirnya pelan.
Seokjin tersenyum, mendekatkan kembali ponsel yang tadi ia jauhkan, "Iya saya sudah pulang. Baiklah, kembali istirahat. Saya juga lelah. Besok siang saya jemput."
"Emm.." Sowon menarik sudut bibirnya.
Lelaki itu berbisik pelan, "Saya matikan." Lalu menekan tombol merah di ponselnya.
Wajahnya merah menyeluruh, cukup kalimat 'aku kangen' dari sang istri berhasil membuat Seokjin hampir gila. Benar-benar, bucin sejati. Dengan penuh rasa bahagia, ia terlelap.
***
Mama dan papa Seokjin sudah pergi bekerja dari tadi pagi, katanya ada rapat penting. Dengan terpaksa, Sowon dititipkan pada para bibi di rumah. Sebenarnya setelah Seokjin telepon tadi malam, Sowon tidak bisa kembali tidur.
Pintu kamar diketuk pelan, lalu muncul bi Sei, "Non, tuan Seokjin sudah di depan."
Senyumnya mendadak merekah, entah mengapa ia sesenang ini bertemu Seokjin. Pengaruh kandungan mungkin. Ia segera mengambil tas dan kopernya ke depan pintu.
Tatapan mereka bertemu, Seokjin tentu saja segera mendekati Sowon. Memeluknya erat, mengecup ujung kepalanya, "Saya rindu."
Sowon melepas pelukan, lalu menatap wajah Seokjin. Mengusap pipinya pelan, "Perasaan aku aja atau kamu keliatan makin tua?"
Alih-alih marah, Seokjin malah tertawa kecil dan mengacak rambut Sowon, "Perasaan saya saja atau kamu memang lebih berisi?"
Bungkam. Sowon diam sejenak hingga akhirnya, "Kamu sibuk hari ini?"
Seokjin mengambil alih koper Sowon, lalu menariknya sambil merangkul pinggang Sowon. "Tidak. Kenapa?"
Sowon memasuki mobil dan Seokjin memasukan kopernya ke dalam bagasi. Sedikit berlari, ia menggapai pintu pengemudi.
"Anter aku ke dokter, mau?" Kata Sowon sambil memasang sabuk pengaman.
Seokjin mengikuti pergerakan sang istri, pandangannya kembali padanya, mengernyit, "Kamu sakit?"
Sowon menggeleng, "Aku sehat, tapi ada yang harus aku cek."
Sedikit berpikir, Seokjin akhirnya mengangguk. "Iya, saya antar sekarang."
.
Tanpa sadar dan merasa curiga, Seokjin duduk di ruang tunggu. Kemudian nama Sojung dipanggil, barulah kini lelaki itu menyadari, "Kandungan?" menatap Sowon lamat.
Mereka memasuki ruang bernuansa putih, dengan wangi obat yang menyeruak.
"Selamat siang, Bu Sojung? Mari saya cek dulu." Sapa sang dokter akrab.
Sowon disuruh berbaring di atas kasur pasien yang bersebelahan dengan monitor. Kemarin bersama Eunwoo, dia lupa untuk melakukan USG.
Saat sedang berbasa-basi pun, Seokjin masih terlihat bingung. Sampai Sowon meminta Seokjin untuk mendekat. Kemudian monitor menyala, ada makhluk hidup di sana. Janin yang belum sempurna.
Sowon tersenyum manis, menatap monitor lalu kembali menatap Seokjin yang terhipnotis oleh sang janin.
"Hai, ayah." Sowon berbisik, mengambil telapak tangan lelakinya lalu mengusap dengan ibu jarinya.
Sungguh, air matanya tak terbendung. Seokjin menitikan air matanya, "Be— maaf." Ia mengusap air matanya, "Berapa bulan dok?"
"Tiga bulan. Jaga kandungannya ya bu, pak. Janinnya sehat kok. Nanti saya tambah suplemen buat jaga-jaga. Oh, susu buat ibu hamil juga butuh," cerocos sang dokter.
Seokjin mengangguk semangat. "Baik Dok, berikan apapun yang dibutuhkan."
Setelah melakukan pemeriksaan, Seokjin tak ada henti-hentinya mengecupi Sowon. Bahkan dia memeluk pinggang Sowon erat. Takut istrinya dan calon anak hilang. Sampai di mobil, Sowon diperlakukan sangat manis.
"Oh iya, kemarin aku dapet telepon," kata Sowon sambil melihat Seokjin memasang sabuk pengamannya.
Seokjin berbalik, ia menyalakan mobilnya, "Siapa? Telepon apa?"
"Dari Seungcheol."
"Hah?" Seokjin menoleh. "Mantan kamu?"
Sowon mengangguk, "Tapi bukan apa-apa kok. Dia bilang katanya mau telepon kamu tapi ga bisa. Ternyata kamu di pesawat."
"Apa katanya?" Tanya Seokjin was-was.
Tangannya menggapai radio mobil, "Dia bilang. Kantor Seungcheol mau kerja sama bareng kantor kamu dan Cen Sia?"
Lelaki itu mengernyit, "Cen sia?"
Lagu menyala, lalu Sowon kembali mengingat, "Bentar. Aku tuh lupa namanya, dia China China gitu deh. Cen Jio? Cen Sio? Cen Sia? Jen..."
"Cheng Xiao?" Terka Seokjin.
"IYA!" Sowon mengangguk semangat, "Chen Sijao."
Pikiran Seokjin mengakar. Ini bukan akhir yang baik. Apalagi yang mereka inginkan dari Seokjin?
On hold.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwine; Kim Seokjin
Fanfiction"Kalau pun kamu mencoba untuk pergi jauh. Tetapi takdir menetapkan kita untuk bersama, kamu akan selalu berdampingan dengan saya."